Berjanji Untuk Terus Menulis

Kehilangan tidaklah pernah menyenangkan. Begitu pun ketika hari ini saya mendapatkan kabar dari teman-teman baik saya yang menjadi mentor, senior, dan rekan di koran tiga jaman, BERNAS Jogja. Media cetak tercinta kami tutup untuk selamanya.

Saya sangat suka membaca koran sejak kecil, walau terdengar aneh, tetapi bagi saya yang tinggal bertahun-tahun di kota kecil ? bahkan sangat jauh terpencil, membaca koran membuka mata saya bahwa dunia ini sungguh luas. Sangat luas.

Ketika saya sekolah di Jogja, koran BERNAS membuat saya jatuh cinta dengan gaya penulisannya. Selain itu, satu hal yang membuat saya terpana, mereka memiliki halaman yang setiap minggunya diisi oleh tulisan para pelajar terpilih di kota itu. Saya rajin membaca liputan mereka, opini menarik khas remaja yang mereka tulis, cerita pendek, sampai dengan puisi. Saya takjub, bagaimana mungkin mereka bisa memiliki kesempatan semenarik ini? Sejak saat itu, saya memutuskan saya harus bisa menjadi bagian dari mereka.

Pendek cerita, saya beruntung bisa menjadi salah satu wartawan pelajar setelah melewati serangkaian proses seleksi dan menjadi salah dua siswa SMP pertama yang pernah mereka terima (karena tujuan awalnya, halaman GEMA ? BERNAS untuk mereka yang duduk di bangku SMU). Bangga! Kapan lagi saya bisa belajar membuat tulisan, mewawancara tokoh, mengenal komputer, membuat layout serba manual sampai tengah malam, dan yang paling penting, saya bisa menemukan keluarga baru. Apalagi mengenal kakak-kakak berseragam putih abu-abu yang mau mengajak saya berdiskusi dan bekerja sama (di mata saya mereka selalu tampak sangat keren dengan seragam itu!).

Pada masa itu, tidak ada cerita sepulang sekolah saya akan langsung pulang ke rumah. Tetapi saya malah tidak sabar untuk ke BERNAS lalu menuju ke ruang sempit di pojokan dan berbagi ide bersama teman-teman GEMA lainnya, tentang apa yang akan kami tulis, siapa yang bertugas, dan seterusnya. Tulisan kami jauh dari sempurna, didikan dari kakak-kakak wartawan menempa kami untuk bisa menulis lebih baik, setiap minggunya. Tidak harus untuk menjadi yang terbaik, tetapi kami dilatih untuk menjadi pencerita yang memahami dengan benar penulisan sesuai kaidahnya. Sejak saat itu pula, buku yang saya inginkan tidak lagi hanya buku cerita, tetapi Kamus Besar Bahasa Indonesia yang pada masanya tidaklah murah untuk pelajar dengan uang saku hanya 30 ribu per bulannya.

Gagasan untuk memberi kami ruang untuk belajar sebenarnya jauh dari untung bagi media sebesar BERNAS. Pada masanya, tentu halaman kami bisa dijual dengan harga tinggi untuk iklan, belum lagi banyak waktu yang harus diluangkan oleh wartawan senior untuk membimbing kami. Anak-anak berseragam sekolah yang penuh rasa ingin tahu ? tetapi terkadang tentu saja menganggu konsentrasi mereka bekerja yang tak mengenal waktu.

Tulisan saya sendiri entah berapa kali dimentahkan atau direvisi berkali-kali karena jauh dari layak terbit. Bahkan saya masih ingat, ketika saya ditugaskan menjadi koordinator liputan tentang musik, tulisan saya dijahit sana-sini oleh teman-teman di GEMA. Pada masa itu, saya belajar kerjasama, rasa kekeluargaan yang tinggi, integritas untuk menyelesaikan tugas, saling menerima masukan, dan keinginan belajar yang tak pernah berhenti. Mereka semua adalah mentor sekaligus sahabat yang luar biasa bagi saya. Sampai saat ini.

Seiring waktu, kami sudah mulai bisa menulis dan rasanya bangga luar biasa ketika tulisan kami bisa dibaca oleh warga Jogja pada masa itu. Saya sendiri masih ingat, senyum lebar ayah saya ketika membaca tulisan pertama saya muncul di BERNAS dan terpampang nama lengkap saya di sana sebagai penulisnya. Tulisan dari seorang siswa SMP, bercelana pendek biru, yang bahkan kalau kemalaman, saya harus meminta jemput kakak saya karena jam 7 malam sudah tidak ada lagi angkot.

Beberapa tahun kemudian (bahkan sampai saat ini), saya masih memendam hasrat untuk menjadi wartawan. Walau sempat menjalani sebentar profesi ini, tetapi jauh lebih banyak teman-teman Veteran GEMA yang mendedikasikan sepenuhnya hidup meereka menjadi wartawan, penulis buku, pendidik, dan berbagai profesi yang terkait. Aku sungguh bangga akan karya mereka. Bahkan sampai akhir hayat mereka setia menjalankan profesinya. Seperti sahabat kami almarhumah Femi Soepemo yang berpulang ketika bertugas meliput di pesawat Sukhoi yang jatuh beberapa tahun yang lalu dan almarhum Mas Kristupa Saragih yang meninggalkan kami ketika sedang melakukan tugas memotret di luar kota.

Menutup cerita, saya mengutip tulisan senior saya di GEMA BERNAS, Mbak Emmy Kuswandari,

Dan saya berjanji untuk tetap menulis, sebagai penghargaan pada sekolah pertama. Kemampuan yang tak boleh hilang. Karena lama-kelamaan ia akan menyatu dalam darah saya. Dari pelajar sekolah yang tak saling mengenal, kini kami menjadi saudara. Sekolah yang kemarin dan membentuk saya menjadi seperti hari ini. Terima kasih, BERNAS!

Ya, saya akan tetap menulis. Terus menulis. Lalu saya teringat kata Pramoedya Ananta Toer,

Menulislah, karena tanpa menulis engkau akan hilang dari pusaran sejarah. (*)

#DearBangkok: Femi & kisah di masa itu.

Tiba-tiba jantungku berdegub kencang. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman ketika membaca sekilas di Twitter tentang info jatuhnya pesawat Sukhoi di Indonesia. Kutelusuri pemberitaan satu persatu termasuk daftar nama yang diduga turut serta dalam penerbangan pesawat Sukhoi tersebut. Hah? Ada perwakilan dari Pelita Air? Om Bambang! Iya Om Bambang, salah satu adik almarhumah Mama kerja di Pelita Air! Kutelurusi namanya, tidak ada nama Bambang. Untuk memastikan, daku menelpon Papa ke Indonesia. FYI, ini pertama kalinya daku nelpon Papa selama tinggal di Bangkok. Biasanya kami berkomunikasi dengan pesan singkat atau Papa yang menelpon. Ternyata memang tidak ada nama Om Bambang disitu. Tapi perasaan masih tak nyaman, entahlah…

Beberapa saat kemudian satu notifikasi masuk di gadget. Notifikasi dari Facebook. Biasanya daku menghiraukan notifikasi dari FB. Yah, namanya seharian kerjaannya mantengin FB, tentu saja ada rasa malas untuk memperhatikan. Tapi kali ini entah kenapa daku bergegas membukanya dan muncul satu tag wall post dari sahabat lama di Jogja, Mas Kunto, yang mengabarkan kalau Femi Adiningsih, salah satu teman kami, ternyata merupakan salah satu penumpang di pesawaat yang hilang tersebut. Innalillahi…

Ingatanku pun melayang menuju ke belasan tahun yang lalu. Di Jogja. Daku masih bercelana pendek biru. Ketika masuk bangku SMP kelas 2, daku dan beberapa teman lainnya beruntung diterima seleksi masuk untuk menjadi wartawan pelajar GEMA di Surat Kabar Harian BERNAS, waktu itu masih masuk Gramedia group. Wartawan pelajar ini diseleksi dari seluruh pelajar SMA (dan beberapa anak nekat yang masih duduk di bangku SMP) se-DIY yang berminat dengan dunia jurnalistik. Sungguh daku beruntung. Itu pertama kalinya daku masuk & ‘bekerja’ sebagai reporter di surat kabar! Mataku berbinar melihat pembuatan lay out, sibuknya deadline, dan rapat redaksi yang seru! The best part, kami semua mempunyai semangat yang sama.

Iya, disana kami belajar dengan beberapa senior wartawan BERNAS yang mendidik dan mensupervisi kami untuk menulis dengan hati, bertemu dengan teman-teman GEMA yang rata-rata sudah duduk di bangku SMA yang lalu menjadi seperti kakak-kakak baru untukku (I love them all!), serta pengalaman hidup yang tak tergantikan! Waktu itu, kami dipercaya mengisi satu halaman penuh setiap hari Minggu. Tanpa iklan dan tentu saja tanpa bayaran. Kami belajar bersama-sama menulis banyak hal, mulai dari laporan utama, opini, cerita pendek, puisi, dan masih banyak lagi. Kami bergantian mengisi kolom dan bergantian pula menjadi Koordinator Liputan. Sungguh pengalaman yang luar biasa untukku. Anak SMP tiap hari bisa pulang malam karena ngerjain deadline dan bukan untuk Pekerjaan Rumah? Mungkin gak banyak yang pernah mengalami itu.

Disana, sepanjang tahun 1994 sampai 1997, dari perubahan celana pendek biru ke celana panjang abu-abu, daku pun bisa mengenal rekan-rekan yang sekarang berdedikasi di bidangnya masing-masing, mulai dari fotografer handal seperti Mas Kristupa Saragih, sutradara dan novelis Fajar Nugros, Pemimpin Redaksi Galang Press seperti Mas Kunto, Indit yang mendedikasikan hidupnya mengajar di pedalaman dengan SOKOLA, beberapa kawan yang menjadi dokter, dosen, pekerja NGO, sampai mengenal baik beberapa wartawan handal seperti Mbak Luki Aulia di Kompas, Mbak Retno di Media Indonesia, Ruri yang sempat di Tribun Batam, dan tentu saja… Femi Adiningsih, yang daku baru saja tahu dari pemberitaan hari ini, kalau Femi meraih beasiswa penuh dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta karena tulisan-tulisannya di GEMA BERNAS dulu. Kamu memang hebat, Fem!

Waktu itu ketika daku masih jadi External Communications untuk perusahaan rokok di Jakarta,  tentu saja harus berhubungan baik dengan teman-teman media cetak terutama dari desk bisnis. Femi yang waktu itu masih bekerja di Harian KONTAN (sekarang Femi bekerja di Bloomberg) menjadi kontak andalanku. Terkadang kami ngobrol ngalor ngidul via FB chat atau Yahoo! Messenger. Sampai suatu ketika dia bertanya,

“Dim, kamu kenapa gak jadi wartawan lagi?”. Daku kenal Femi, sosok jurnalis yang memang bercita-cita menjadi jurnalis dari SMP. Layaknya daku. Daku pun bingung menjawabnya. Iya, daku juga sempat menjadi reporter di majalah walau sekilas. Tetapi dunia PR juga membuatku jatuh cinta. Daku bilang ke Femi, “Iya Fem, pengen sih, tapi ternyata dunia PR juga seru. Daku udah ngerasain jadi reporter dan sekarang jadi PR. Daku paham sih, pasti reporter terkadang sebel banget kan sama orang PR? Karena kesannya kalau lagi butuh aja baru ngehubungin. Tapi, daku jadi belajar Fem, gimana menjadikan temen-temen jurnalis itu sebagai teman. Karena, I’ve been there before, hihi”. Femi tertawa membaca jawabanku. Dalam hati daku berkata, “Daku gak secerdas dan setangguh kamu, Fem..”.

Sampai blog ini daku tulis, daku belum tahu pasti kabarmu, Fem. Daku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga kamu diberikan yang terbaik oleh-Nya. Tentu daku berharap kamu baik-baik saja. Notifikasi demi notifikasi dari teman-teman Veteran GEMA (begitu kita menyebutnya) bersahutan di group Blackberry. Semua khawatir, daku khawatir, tetapi kami hanya bisa berdoa. Semoga yang terbaik untukmu Femi Adiningsih… Kawan seperjuangan, ketika kita harus menulis di sudut ruangan mungil itu, satu komputer lawas itu, catatan-catatan kecil yang berhamburan di meja, dan tawa lepas anak-anak berseragam sekolah berbau keringat sepulang liputan ketika langit Jogja mulai tampak menggelap. (*)