Entah kenapa aku tak sanggup memandang lekat matamu, lagi
Teringat kata hatiku dulu
Aku akan menunggumu selamanya
Tapi ternyata selamanya, sungguh terlalu lama…
Dan aku pun merelakanmu, lepas, bukan untukku
Mungkin untuk jiwa yang lain.
Entah kenapa aku tak sanggup memandang lekat matamu, lagi
Teringat kata hatiku dulu
Aku akan menunggumu selamanya
Tapi ternyata selamanya, sungguh terlalu lama…
Dan aku pun merelakanmu, lepas, bukan untukku
Mungkin untuk jiwa yang lain.
Ekspresi wajahku datar. Senyumku tak mungkin tersungging. Nafas terasa berat dan detak jantung terasa cepat. Mataku menatap mereka tanpa jeda. Marah. Tapi aku harus tetap menahan diri. Tangan dan kakiku pun terikat tali yang sangat erat.
“Sudahlah, tak ada gunanya kamu diam! Katakan, siapa yang mengirimmu kesini!”
Pria berjaket kulit hitam itu kembali bertanya sambil berlagak menghunuskan pisau tajam itu di dadaku. Perih.
“You wish! Percuma kalian bertanya. Cuih!”
Kuludahkan air liurku ke muka pria berjaket kulit itu. Dan wajah bengisnya pun menjadi merah. Menahan amarah yang membara. Dan…
“DAR! PRAK!”
Sebuah kursi kayu menghantam tepat di kepalaku, dan lalu aku terkulai dengan darah menetes di pelipis. Gelap.