Setelah membaca novel Ayat-Ayat Cinta dengan penuh suka cita dan air mata beberapa bulan yang lalu *makasih Cahya atas pinjamannya*, akhirnya aku bisa juga menonton film Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal dan penuh pro kontra itu. Rasanya aku hampir jadi arca berlumut nungguin ini film tayang di bioskop, sebelumnya diberitakan bakal diputer bulan Desember tahun lalu, eh ternyata baru muncul di bulan Februari kemaren. Belum lagi begitu banyak yang nawarin aku buat nonton bajakannya, mulai dari download di internet sampe minjemin kepingan cakramnya *duh pilihan katanya oke banget ya, kikiki*. Sebenarnya, aku bukanlah cowok ganteng yang anti nonton film bajakan *ngelirik serial Heroes segambreng di rak* tapi ini aku lakukan demi menghargai kerja keras sang sutradara yaitu mas Hanung Bramantyo yang aku baca dari cerita di blognya sungguh-sungguh penuh dengan perjuangan yang sangat berat untuk membuat film ini bisa terealisasi. Apalagi ada abangku, Fajar Nugros, yang bikin behind the scene dari film AAC. Sekedar info, Hanung dan Fajar adalah kakak angkatan saya di SMU dulu *walau nasibnya gak ada nyerempet-nyerempetnya ke aku, du du du. Minimal kan bisa nawarin aku jadi pemeran pengganti onta di padang pasir*. Maka dari itu, kalo daku sampe nonton bajakannya, bisa-bisa langsung di air keras terus dijadiin gantungan kunci.
Nah pastinya, aku gak akan cerita mengenai jalan cerita dari film ini *tolong ya saudara-saudaraku, novelnya 30 rebuan kok, beli gih!* karena udah banyak pula blog yang bahas bukan? Nah jadi tugas aku adalah untuk membahas… apa ya? *bingung tingkat tinggi, hihi*. Pada dasarnya sih, dalam menonton Ayat-Ayat Cinta janganlah membanding-bandingkan dengan novelnya. Karena bisa dipastikan gak bakal puas dengan apa yang disuguhkan dari tayangan film ini. Mulai dari alur yang berbeda sampai setting yang kadang terasa tidak seindah angan-angan. Tapi seandainya film ini di tonton sebagai film lepas tanpa ada embel-embel ‘adaptasi novel best seller’, aku bisa ngasih garansi kalo film sangat layak dan harus untuk di tonton. Gambar yang indah, cerita yang menarik *karena berbeda dengan novel itu sebenarnya*, penyutradaraan yang keren, sampai pesan dakwah yang disampaikan walau tentu tak begitu bombastis *dengerin suara Ustad Jefry yang melantukan ayat-ayat Al Qur’an sebagai backsound aja udah bikin hati gerimis*. Apalagi akting dari semua pemain bisa dibilang berhasil menghidupkan karakter yang ada di dalam novel AAC. Tapi bagian Fahri… Hm gak bisa dibilang jelek juga sih, tapi mungkin kurang maksimal aja. Jadi inget percakapan ma temen-temenku:
Temen 1: “Menurut kalian sapa ya yang pantes jadi Fahri?” *mata menerawang ke angkasa*
Temen 2: “Kayaknya Anjasmara, kan dia wajahnya mateng gitu. Cocok jadi Fahri.”
Temen 3: *dengan tatapan keji* “Tolong ya saudara-saudara setanah air, bedakan dong antara mateng ma tua! Hm menurut akuh… Fauzi Badilah kayaknya pantes.”
Temen 2: “Ih! Dia kan pendek, mana wajahnya gahar banget, gak masuuuuk!”
Aku: “Lebih pantes Dimas Seto menurut aku, mukanya alim.”
Temen 1: “Ye, kalo nyari wajah alim sih mending si Dude Herlino kemana-mana.”
Temen 3: “Tapi dia keputihan! Masa tinggal di Mesir bisa putih gitu.”
Aku: *cowok kok bisa keputihan ya? Pek Tay dong? Kikiki*
Temen 2: “Iya juga ya? Sapa dong?”
Semua: *senyap*
Akhirnya disimpulkan bahwa memang tak ada pilihan lain untuk memerankan Fahri selain Fedi Nuril *mungkin sih…*. Kenapa aku fokus ke Fahri? Ya karena dia adalah sosok kunci dalam film ini. Tokoh yang begitu nyaris sempurna baik dari sisi agama ataupun intelektual dengan keterbatasan dia sebagai manusia. Semua alur cerita di AAC semua bertumpu pada tokoh Fahri. Mungkin menurut aku yang agak aneh adalah tatapan matanya Fahri itu lho, jelalatan banget untuk ukuran seorang ikhwan! Aku jadi inget seorang sahabatku dari SMU yang masa sekolah sebelumnya dilalui di pesantren. Dia itu kalo ngeliat cewek hati-hati sekali, sangat menjaga pandangan matanya. Lah ini untuk ukuran seorang Fahri yang kuliah di Al Azhar Kairo, kok matanya itu kemana-mana ya? *peace lho om Fedi Nuril*. Ya mungkin saja karena memang tuntukan skenario, mungkin…