#DearBangkok: An epilog.

Every day is a journey, and the journey itself is home.

I never imagine before in my life that someday I will work outside my lovely country, Indonesia. I’ve lived there for 30 years, in several provinces to be exact, from Aceh in the northern of Sumatra to a small beautiful island off the northeastern coast of Borneo. I still remember the scent of the ocean wind, the sound of Azan, and every detail about all the cities that I’ve lived in. Still, I feel like I will forever stay in Indonesia.

I was working for one of the most desired companies in town, with a great boss and nice colleagues. There was nothing to complain about. Out of the blue, I saw this vacancy, on Twitter timeline, for Social Media Manager in Bangkok, Thailand, at a global agency and serving for a big automotive company. Honestly, I always wanted to work in social media for a while back then. Then I got the offer and was interviewed in Jakarta but I didn’t feel it was the right decision. Because for this one, I know, it was going to be a big challenge and decision.

There is no such thing as second chance for me. I decided to try and yes, I was accepted and was required to move to Bangkok in a month! Actually, it was not a nice surprise for my colleagues, family, and friends. But that was the time for me to leave my comfort zone and try something new in my life. Everything was foreign. The place, the sounds, the language, the food, the friends, almost everything about it was… unfamiliar.

So, how did Bangkok treat me? I would say that this was an amazing journey! I will never regret to something that made me smile. I met with great bosses and colleagues at my new office, because it was nice to work with them who knows the secret to being good boss & colleagues… being a good person. We shared laughter, happiness, sadness… everything.

I never imagined before that I could get along with them. I have never lived abroad for years, unlike most of my colleagues. But you know, it was like love at first sight. As time went on, we got closer and shared every hour together, from waking up to falling asleep. We are a family. It has been a pleasure working with them in the past year.

Friendship is not about whom you have known the longest… It is about whom came, and never left your side…

It was not easy to make the decision to quit from this fun and cool job, leaving my ‘other family’ in Bangkok, chance to live in a dream city like Bangkok. Many of my friends said that I was crazy when I told them I would go back to Jakarta. But this was my choice, even when I had to reject an offer to work in other country. Because I believe, nothing can beat my experience here. I learnt a lot and I met new people that I could just be myself and kept my feet on the ground. It was a life changing experience. I feel I am ready to face another challenge back home.

So here I am, I have packed all my things and ready to go. I believe, some people come into our lives and leave footprints in our hearts and we will never ever be the same. I know, I will never be the same again because I left some of my memories here… on the streets, at the stations, in the raindrops, and every step that I took in this city. Bangkok, you never fail me. Thank you for the journey, the good, and even the bad.

 To get through the hardest journey, we need take only one step at a time, but we must keep on stepping.

***

I would like to say thank you to every one who took care of me while in Bangkok and left footprints in my heart.

Thank you Mas Mulyadi (& Mbak Vei) and Medy, my Indonesian family at the office. Thank you for everything. I know we will always keep in touch. For sure I’m going to miss you all. A lot!

My lovely ‘keluarga di perantauan’, Hexa and Nisa, Vian and Mita, Meirza, Dodot and Dini, I am so blessed to have known and met you all. Thank you for helping me to get through my tough times. Thank you again for sharing the laugh and sadness. Until we meet again in Jakarta.

To Crystal, Lana, Charlie, and Quyen: Thank you for making my life colorful in Bangkok! I know my life (and my lunch and dinner times) will never be the same without you all! I will miss the laugh, the stories, the foods, the malls, the smiles, and everything about you all! Huge love!

To Reha, Leigh, Nida, Om, PJ, Shaun, Nuay, Sailee, Jane, Smarty, Jo, Charles, Greg, & Jericho: Thank you for all the fun, making work like a playground, and sharing everything that always makes me smile.

Thank you again and see you soon! (*)

#DearBangkok: Femi & kisah di masa itu.

Tiba-tiba jantungku berdegub kencang. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman ketika membaca sekilas di Twitter tentang info jatuhnya pesawat Sukhoi di Indonesia. Kutelusuri pemberitaan satu persatu termasuk daftar nama yang diduga turut serta dalam penerbangan pesawat Sukhoi tersebut. Hah? Ada perwakilan dari Pelita Air? Om Bambang! Iya Om Bambang, salah satu adik almarhumah Mama kerja di Pelita Air! Kutelurusi namanya, tidak ada nama Bambang. Untuk memastikan, daku menelpon Papa ke Indonesia. FYI, ini pertama kalinya daku nelpon Papa selama tinggal di Bangkok. Biasanya kami berkomunikasi dengan pesan singkat atau Papa yang menelpon. Ternyata memang tidak ada nama Om Bambang disitu. Tapi perasaan masih tak nyaman, entahlah…

Beberapa saat kemudian satu notifikasi masuk di gadget. Notifikasi dari Facebook. Biasanya daku menghiraukan notifikasi dari FB. Yah, namanya seharian kerjaannya mantengin FB, tentu saja ada rasa malas untuk memperhatikan. Tapi kali ini entah kenapa daku bergegas membukanya dan muncul satu tag wall post dari sahabat lama di Jogja, Mas Kunto, yang mengabarkan kalau Femi Adiningsih, salah satu teman kami, ternyata merupakan salah satu penumpang di pesawaat yang hilang tersebut. Innalillahi…

Ingatanku pun melayang menuju ke belasan tahun yang lalu. Di Jogja. Daku masih bercelana pendek biru. Ketika masuk bangku SMP kelas 2, daku dan beberapa teman lainnya beruntung diterima seleksi masuk untuk menjadi wartawan pelajar GEMA di Surat Kabar Harian BERNAS, waktu itu masih masuk Gramedia group. Wartawan pelajar ini diseleksi dari seluruh pelajar SMA (dan beberapa anak nekat yang masih duduk di bangku SMP) se-DIY yang berminat dengan dunia jurnalistik. Sungguh daku beruntung. Itu pertama kalinya daku masuk & ‘bekerja’ sebagai reporter di surat kabar! Mataku berbinar melihat pembuatan lay out, sibuknya deadline, dan rapat redaksi yang seru! The best part, kami semua mempunyai semangat yang sama.

Iya, disana kami belajar dengan beberapa senior wartawan BERNAS yang mendidik dan mensupervisi kami untuk menulis dengan hati, bertemu dengan teman-teman GEMA yang rata-rata sudah duduk di bangku SMA yang lalu menjadi seperti kakak-kakak baru untukku (I love them all!), serta pengalaman hidup yang tak tergantikan! Waktu itu, kami dipercaya mengisi satu halaman penuh setiap hari Minggu. Tanpa iklan dan tentu saja tanpa bayaran. Kami belajar bersama-sama menulis banyak hal, mulai dari laporan utama, opini, cerita pendek, puisi, dan masih banyak lagi. Kami bergantian mengisi kolom dan bergantian pula menjadi Koordinator Liputan. Sungguh pengalaman yang luar biasa untukku. Anak SMP tiap hari bisa pulang malam karena ngerjain deadline dan bukan untuk Pekerjaan Rumah? Mungkin gak banyak yang pernah mengalami itu.

Disana, sepanjang tahun 1994 sampai 1997, dari perubahan celana pendek biru ke celana panjang abu-abu, daku pun bisa mengenal rekan-rekan yang sekarang berdedikasi di bidangnya masing-masing, mulai dari fotografer handal seperti Mas Kristupa Saragih, sutradara dan novelis Fajar Nugros, Pemimpin Redaksi Galang Press seperti Mas Kunto, Indit yang mendedikasikan hidupnya mengajar di pedalaman dengan SOKOLA, beberapa kawan yang menjadi dokter, dosen, pekerja NGO, sampai mengenal baik beberapa wartawan handal seperti Mbak Luki Aulia di Kompas, Mbak Retno di Media Indonesia, Ruri yang sempat di Tribun Batam, dan tentu saja… Femi Adiningsih, yang daku baru saja tahu dari pemberitaan hari ini, kalau Femi meraih beasiswa penuh dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta karena tulisan-tulisannya di GEMA BERNAS dulu. Kamu memang hebat, Fem!

Waktu itu ketika daku masih jadi External Communications untuk perusahaan rokok di Jakarta,  tentu saja harus berhubungan baik dengan teman-teman media cetak terutama dari desk bisnis. Femi yang waktu itu masih bekerja di Harian KONTAN (sekarang Femi bekerja di Bloomberg) menjadi kontak andalanku. Terkadang kami ngobrol ngalor ngidul via FB chat atau Yahoo! Messenger. Sampai suatu ketika dia bertanya,

“Dim, kamu kenapa gak jadi wartawan lagi?”. Daku kenal Femi, sosok jurnalis yang memang bercita-cita menjadi jurnalis dari SMP. Layaknya daku. Daku pun bingung menjawabnya. Iya, daku juga sempat menjadi reporter di majalah walau sekilas. Tetapi dunia PR juga membuatku jatuh cinta. Daku bilang ke Femi, “Iya Fem, pengen sih, tapi ternyata dunia PR juga seru. Daku udah ngerasain jadi reporter dan sekarang jadi PR. Daku paham sih, pasti reporter terkadang sebel banget kan sama orang PR? Karena kesannya kalau lagi butuh aja baru ngehubungin. Tapi, daku jadi belajar Fem, gimana menjadikan temen-temen jurnalis itu sebagai teman. Karena, I’ve been there before, hihi”. Femi tertawa membaca jawabanku. Dalam hati daku berkata, “Daku gak secerdas dan setangguh kamu, Fem..”.

Sampai blog ini daku tulis, daku belum tahu pasti kabarmu, Fem. Daku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga kamu diberikan yang terbaik oleh-Nya. Tentu daku berharap kamu baik-baik saja. Notifikasi demi notifikasi dari teman-teman Veteran GEMA (begitu kita menyebutnya) bersahutan di group Blackberry. Semua khawatir, daku khawatir, tetapi kami hanya bisa berdoa. Semoga yang terbaik untukmu Femi Adiningsih… Kawan seperjuangan, ketika kita harus menulis di sudut ruangan mungil itu, satu komputer lawas itu, catatan-catatan kecil yang berhamburan di meja, dan tawa lepas anak-anak berseragam sekolah berbau keringat sepulang liputan ketika langit Jogja mulai tampak menggelap. (*)