#Day9: Pengalaman Yang Mahal

Pagi hari ketika saya sedang dalam perjalanan ke kantor tak sengaja saya membuka linimasa Twiter. Ada satu twit dengan lampiran gambar yang langsung menarik perhatian mata saya. Gambar yang bertuliskan, “Selamat Selikuran Dagadu Djokdja”. Dalam bahasa Jawa, selikur itu diterjemahkan menjadi 21. Ternyata usia produsen kaos khas dari kota Jogja ini sudah menginjak usia yang tak bisa dibilang sebagai remaja lagi.

Pada usia yang sama, waktu itu saya masih bekerja paruh waktu di Dagadu Djokdja. Kepercayaan yang besar bagi saya pada masanya serta kesempatan yang mahal karena untuk menjadi Garda Depan/Gardep (begitu mereka menyebutkan para pekerja paruh waktu) di Dagadu Djokdja tidaklah mudah. Ketika itu kami harus melalui seleksi sebanyak 8 tahap dengan pendaftar hampir mencapai 700 mahasiswa/i dari Jogja. Sedangkan yang diterima ternyata hanya delapan orang dengan kontrak selama 8 bulan. Wah, tak sadar ternyata banyak angka 8 yang muncul, ya? Mungkin itu angka keberuntungan saya, haha.

Anyway, bagi saya pengalaman bekerja paruh waktu di Dagadu merupakan pengalaman yang mahal. Dalam banyak hal. Pada saat umur 20an awal, saya bukanlah pemuda yang bisa dibilang sabar. Pada saat itu saya belajar, tak semuanya bisa kita kerjakan sendiri. Ada beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama. Melatih kesabaran dalam menjalankan berbagai proses menjadi kunci.

Saya juga belajar sabar dalam melayani konsumen. Saya baru sadar, tak semua orang bisa menghargai pekerjaan saya dan teman-teman yang bekerja di berbagai gerai toko di sekitarnya. Di sana saya menemukan berbagai wujud watak manusia.

Saya semakin paham bahwa orang baik tidaklah harus ditemukan dalam wujud dengan pakaian mentereng, mereka yang bisa makan enak di gerai fast food, atau menggunakan perhiasan mahal. Orang baik bisa ditemukan di mana dan situasi apa saja. Saat itu saya menemukan deretan teman baik yang menjaga gerai ice cream Baskin & Robin, toko Gramedia, sampai konter kecil foto instan di sebelah gerai Dagadu. Mereka sering berbagi panganan kecil mereka kepada saya dan teman-teman, menyapa hangat dengan tulus setiap hari, dan tak pernah bosan berbagi rejeki atas apa yang mereka miliki. Bukankah kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan? Mereka mengajari saya hal itu.

Selain itu saya belajar integritas. Bekerja dengan teman-teman yang seluruhnya mahasiswa (dan tentu kami butuh uang) serta diberikan kebebasan mengelola barang dagangan sampai keuangan setiap harinya, tentu kami sangat bisa melakukan kecurangan kapan saja apabila mau. Tetapi saya tak pernah menemukan itu. Kami diajarkan bagaimana dunia kerja sesungguhnya. Kepercayaan itu diberikan untuk dijaga, bukan untuk disalahgunakan.

Terakhir, persahabatan. Kami saling menghargai satu dengan yang lainnya sebagai keluarga. Saya ingat karena waktu itu secara umur saya yang paling kecil, terkadang saya mendapatkan jatah waktu makan lebih awal, haha. Mereka juga selalu memastikan saya aman sampai di kos sepulang kerja, meminjamkan uang ketika saya kehabisan dana di akhir bulan – dimana saya sering terlalu gengsi untuk minta tambahan ke orang tua, dan memastikan saya baik-baik saja dalam segala hal. Ah, saya jadi berpikir bahwa saya terlalu dimanja pada masa itu, haha.

Satu hal, yang pasti saya sangat bersyukur atas pengalaman yang mahal ini. Saat ini, mungkin sudah ada ratusan alumni Garda Depan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia. Kami mendapatkan pengalaman yang tak disediakan oleh banyak perusahaan di Indonesia, tetapi Dagadu percaya, bahwa kemampuan bekerja harus dibentuk sejak dini dan kesempatan itu harus diberikan bagi mereka yang punya tekat dan memliki daya juang untuk menjalaninya. Sekali lagi, terima kasih Dagadu dan selamat beranjak dewasa! (*)

#DAY7: Keluarga Yang Kita Pilih

Saya percaya setiap individu pasti memiliki minimal seorang sahabat dalam hidupnya. Sosok dimana kita bisa menceritakan apa saja, yang tahu banyak mengenai kisah hidup kita, serta menempatkan nama kita di dalam doa yang selalu diucapkan setiap harinya.

Kembali pada masa ketika masih duduk di bangku sekolah, saya pernah yakin setiap hubungan persahabatan yang saya miliki pasti tak akan terpisahkan sampai tumbuh dewasa. Kami akan selalu bersama, saling menjadi prioritas utama, dan tak akan pernah lupa untuk bertukar kisah setiap saat. Dunia yang sangat ideal versi saya.

Tetapi dunia yang saya kenal kini, semua menjadi berbeda. Teringat waktu di bangku kuliah saya pernah membaca satu artikel yang mengatakan ketika kita mulai menua, lingkaran pertemanan akan semakin mengecil, tereduksi karena berbagai situasi, dan akhirnya akan tersisa mereka yang benar-benar saling memahami satu sama lain. Awalnya tentu saya tak begitu saja percaya, tetapi ternyata itulah kenyataan yang harus dihadapi.

Ketika dunia sudah penuh dengan kesibukan bekerja dan/atau berkeluarga, kita mulai merasakan dimana sebagai manusia kita tumbuh dan berkembang ke berbagai arah yang berbeda. Apa yang kita baca, apa yang kita hadapi, apa yang kita yakini, serta apa yang kita temui sehari-hari, semua juga berbeda. Begitu pun pola berfikir.

Hal kecil saja, ketika saya membuka linimasa akun Facebook saya terkadang saya mengerenyitkan dahi, “Kenapa teman lama saya bisa berfikir seperti itu ya menanggapi isu ini?” atau “Kok dia bisa percaya berita yang belum tentu benar ini, ya?”.

Sedangkan di dunia pararel, mungkin teman lama saya berpikir hal yang sama mengenai saya ketika membuka linimasa Facebook atau Twitter saya, haha. Bisa jadi. Tentunya saya sangat menghormati pendapat orang lain di social media, toh kami sama-sama tidak saling terganggu secara langsung.

Anyway, apa yang ingin saya ceritakan adalah rasanya begitu bahagia ketika kita bisa menjaga lingkaran pertemanan untuk jangka waktu yang cukup lama. Apalagi pasti kita punya kenangan-kenangan yang kita jaga sampai sekarang dengan mereka yang dekat di hati. Misalkan saya yang masih mengingat saat-saat kuliah dimana bersama para sahabat merasakan kehujanan naik motor, makan di warung pinggir jalan dan harus berbagi lauk, sama-sama sedih karena tak bisa ikut keriaan di kampus karena harus kerja part time sehari dua kali, saling mendukung ketika mengerjakan tugas akhir, sampai banyaknya kesamaan – dan perdebatan yang harus dilalui bersama.

Nah, kemarin saya bahagia sekali bisa bertemu kembali dengan sahabat-sahabat yang sudah terjalin selama 14 tahun lamanya sejak sama-sama masih kuliah di Jogja. Kami biasanya saling kontak hanya melalui group WhatsApp, mengingat beberapa dari kami tinggal di luar kota dan luar negeri tetapi kebersamaan masa lalu menguatkan kami. Tak ada yang berubah, masih menertawakan kebodohan-kebodohan yang pernah kami lakukan, menceritakan berita yang tertinggal, serta merayakan masa-masa bisa berkumpul bersama. Priceless.

Hari, Ira, Pepy, Rizal, Mamas, dan Raja

Sungguh tiada yang lebih menyenangkan selain bisa bertemu dengan para sahabat yang mengetahui perjuangan hidup kita dari masa lalu, yang percaya kita bisa melakukan apa yang kita cita-citakan, dan selalu menggandeng tangan kita ketika merasa ragu. Mereka adalah keluarga yang kita pilih. Tentunya saya berdoa semoga persahabatan ini akan terus berjalan sampai ujung waktu. Bersama mereka, bersama sahabat-sahabat saya yang lain, dan tentu juga kamu yang telah berkenan berkunjung ke blog saya.

Oh iya, sudahkah kamu menghubungi sahabat kamu hari ini? (*)