#Day17: Kartu Pos Itu

Semakin lama saya semakin lupa rasanya menulis dengan jari tangan. Setiap hari jemari ini lebih jamak menyentuh papan huruf di laptop, gawai, dan benda teknologi lainnya. Hal ini bukan saya saja yang mengalami, tetapi saya yakin banyak orang yang turut merasakannya. Contohnya saja rekan sekantor saya Garth yang penasaran ketika melihat saya menulis semua jadwal meeting di dalam agenda hitam saya. “Jadi setiap hari lo catet semua jadwal di buku itu, Kak?,” tanya Garth.

“Iya, tapi tetep sih Kak, semua jadwal aku masukin lagi ke dalam gadget supaya tak lupa. Vice versa. Jadi kalau ada undangan via email akan langsung aku catat di buku ini,” jawabku sambil semangat. Bagi saya, kegiatan ini juga menyalurkan kesukaan saya menulis dengan pulpen dan terkadang memberikan warna tulisan berbeda untuk tujuan yang berbeda pula. Bisa untuk janji pertemuan yang personal sampai hari ulang tahun teman-teman. Hal ini sebenarnya sudah saya lakukan sejak masa kuliah. Saya gemar mengumpulkan beragam alat tulis dan menulis catatan dengan rapi.

Toko kartu pos yang saya temukan di Beijing

Tetapi saya sadar bahwa kegiatan ini sangat personal. Tidak ada yang bisa saya bagi dengan orang lain. Lalu saya teringat, saya memiliki beberapa sahabat yang gemar mengirimkan kartu pos ketika mereka sedang bepergian – biasanya ketika mereka menginjakkan negara atau kota yang pertama kali dikunjungi. Sebagian besar kartu pos itu masih saya simpan dan sebagian kecil saya pajang di ruang kantor saya untuk sekedar mengingatkan rasa bahagia ketika menerimanya dan membaca tulisan tangan yang tertera.

Bagi saya, menerima kiriman kartu pos menjadi pelipur lara dimana saat ini hampir tak ada lagi teman atau saudara yang mengirimkan surat dengan tulisan tangan untuk bertukar kabar. Semua sudah tergantikan dengan teknologi yang semakin canggih dan terus tergantikan dengan cara baru. Pada akhirnya saya sering menjawab pertanyaan teman-teman saya yang menanyakan mau oleh-oleh apa ketika mereka akan menuju suatu tempat, saya pun dengan cepat menjawab, “Kalau tak merepotkan, boleh ya kirimin aku kartu pos”. Walau pun terkadang dibalas dengan tatapan bingung, pada akhirnya mereka pasti mengirimkan sehelai kartu melalui pos dengan kegembiraan yang tertulis dengan jelas. Mungkin mereka tak pernah sadar, kegembiraan itu menular dan saya menyimpan kegembiraan itu di setiap kartu yang akan saya jaga dengan baik.

Pertanyaannya, kapan kamu terakhir kali menerima/mengirimkan kartu pos? (*)

#Day10: Ketika Harus Sendiri

Saya paling benci kesendirian. Semua ini dimulai sejak ketika saya harus tinggal terpisah dari orang tua ketika masa sekolah dulu. Saya benci ketika harus makan sendiri, saya benci ketika harus jalan-jalan sendiri, bahkan saya benci ketika harus tidur sendiri di malam hari. Karena itu, ketika saya baru masuk SMA dan harus tinggal sendirian di kos, hampir setiap malam ada beberapa teman sekolah saya yang menginap untuk menemani saya ngobrol sampai saya terlelap. Beruntung waktu itu kamar kos saya cukup luas. Karena kebiasaan ini, saya punya banyak sahabat dari satu angkatan karena pada akhirnya kamar saya menjadi tempat berkumpul dan menjadi tempat mengasingkan diri bagi teman-teman saya yang sedang putus cinta, haha.

Kamar Kos Waktu SMA di Jogja

Saya menyadari, mungkin saya adalah wujud nyata manusia komunal yang tidak bisa hidup sendiri. Bahkan pada waktu itu saya bisa bertahan untuk tidak makan malam ketika tidak ada yang bisa menemani saya. Bagi saya, keberadaan orang lain menjadi sangat penting dalam menjalani aktivas sehari-hari. Hal ini terus berlangsung sampai saya lulus kuliah kecuali kalau tidur harus ditemani, haha.

Bahkan pada saat saya masih tinggal di kos, saya pun tak pernah mengunci kamar tidur karena saya selalu mempersilakan teman-teman satu kos untuk masuk ke kamar kapan saja sekedar untuk menonton TV, membuat susu karena saya selalu menyimpan susu bubuk, ataupun belajar di meja belajar saya – karena ada beberapa teman kos yang benci kalau harus belajar sendirian. Privasi merupakan nomor sekian bagi saya.

Saya pikir hal ini terjadi hanya pada saya. Lalu saya punya sahabat perempuan ketika SMA, namanya Nina, pendek cerita suatu saat kami terpisah karena dia harus kuliah di Bandung, sedangkan saya meneruskan pendidikan di Jogja. Karena dia juga tak biasa sendiri, setiap malam saya harus menemani dia makan melalui saluran telepon sampai dia selesai menyantap makan malamnya! Hal itu berlangsung beberapa minggu awal sejak dia tinggal sendirian di sana. Tetapi saya yakin, sekarang dia pasti tak pernah makan sendiri, karena sudah ditemani oleh suami dan kedua anaknya yang lucu di Eropa.

Lalu pada suatu ketika semua kebiasaan ini harus saya ubah. Satu situasi yang tidak bisa saya hindari. Pada saat itu, saya harus pindah ke kota Bangkok dan totally tinggal sendirian, sehingga saya harus melakukan sebagian besar aktivitas sendirian. Saya mencoba pertama kali nonton bioskop sendiri, makan malam sendiri, nongkrong di coffee shop sendiri, sampai jalan-jalan menjalajahi kota sendiri. Ternyata ada sensasi menyenangkan. Ketika kita bisa memutuskan apa yang ingin kita lakukan tanpa ada kompromi dengan orang lain. Ketika setahun berlalu, saya merasa keindividuan itu menjadi terpelihara lalu terkotakkan menjadi rasa nyaman. Saat itu saya memutuskan pulang.

Pada akhirnya, dalam segala hal memang harus seimbang. Terkadang dalam banyak hal kita harus kompromi atau melakukan berbagai hal bersama orang-orang yang kita percaya, tetapi ada saat-saat kita menikmati waktu sendiri.

Saat-saat sendiri bagi saya adalah waktu yang tepat untuk berpikir lebih dalam dalam menentukan keputusan yang akan diambil dalam hidup atau mengevaluasi diri atas pilihan yang saya ambil. Saat sendiri itu adalah saat saya bisa mendengarkan kata hati saya dan mengindahkan emosi sesaat lalu berpikir dengan logika. Demikian pun pada saat ini, saya menulis blog di sebuah cafe sendirian, dimana mungkin beberapa tahun yang lalu, saya sangat enggan melakukan ini. Anyway, selamat malam Minggu dan semoga weekend kamu menyenangkan! (*)