#DearBangkok: Femi & kisah di masa itu.

Tiba-tiba jantungku berdegub kencang. Entah kenapa perasaanku tidak nyaman ketika membaca sekilas di Twitter tentang info jatuhnya pesawat Sukhoi di Indonesia. Kutelusuri pemberitaan satu persatu termasuk daftar nama yang diduga turut serta dalam penerbangan pesawat Sukhoi tersebut. Hah? Ada perwakilan dari Pelita Air? Om Bambang! Iya Om Bambang, salah satu adik almarhumah Mama kerja di Pelita Air! Kutelurusi namanya, tidak ada nama Bambang. Untuk memastikan, daku menelpon Papa ke Indonesia. FYI, ini pertama kalinya daku nelpon Papa selama tinggal di Bangkok. Biasanya kami berkomunikasi dengan pesan singkat atau Papa yang menelpon. Ternyata memang tidak ada nama Om Bambang disitu. Tapi perasaan masih tak nyaman, entahlah…

Beberapa saat kemudian satu notifikasi masuk di gadget. Notifikasi dari Facebook. Biasanya daku menghiraukan notifikasi dari FB. Yah, namanya seharian kerjaannya mantengin FB, tentu saja ada rasa malas untuk memperhatikan. Tapi kali ini entah kenapa daku bergegas membukanya dan muncul satu tag wall post dari sahabat lama di Jogja, Mas Kunto, yang mengabarkan kalau Femi Adiningsih, salah satu teman kami, ternyata merupakan salah satu penumpang di pesawaat yang hilang tersebut. Innalillahi…

Ingatanku pun melayang menuju ke belasan tahun yang lalu. Di Jogja. Daku masih bercelana pendek biru. Ketika masuk bangku SMP kelas 2, daku dan beberapa teman lainnya beruntung diterima seleksi masuk untuk menjadi wartawan pelajar GEMA di Surat Kabar Harian BERNAS, waktu itu masih masuk Gramedia group. Wartawan pelajar ini diseleksi dari seluruh pelajar SMA (dan beberapa anak nekat yang masih duduk di bangku SMP) se-DIY yang berminat dengan dunia jurnalistik. Sungguh daku beruntung. Itu pertama kalinya daku masuk & ‘bekerja’ sebagai reporter di surat kabar! Mataku berbinar melihat pembuatan lay out, sibuknya deadline, dan rapat redaksi yang seru! The best part, kami semua mempunyai semangat yang sama.

Iya, disana kami belajar dengan beberapa senior wartawan BERNAS yang mendidik dan mensupervisi kami untuk menulis dengan hati, bertemu dengan teman-teman GEMA yang rata-rata sudah duduk di bangku SMA yang lalu menjadi seperti kakak-kakak baru untukku (I love them all!), serta pengalaman hidup yang tak tergantikan! Waktu itu, kami dipercaya mengisi satu halaman penuh setiap hari Minggu. Tanpa iklan dan tentu saja tanpa bayaran. Kami belajar bersama-sama menulis banyak hal, mulai dari laporan utama, opini, cerita pendek, puisi, dan masih banyak lagi. Kami bergantian mengisi kolom dan bergantian pula menjadi Koordinator Liputan. Sungguh pengalaman yang luar biasa untukku. Anak SMP tiap hari bisa pulang malam karena ngerjain deadline dan bukan untuk Pekerjaan Rumah? Mungkin gak banyak yang pernah mengalami itu.

Disana, sepanjang tahun 1994 sampai 1997, dari perubahan celana pendek biru ke celana panjang abu-abu, daku pun bisa mengenal rekan-rekan yang sekarang berdedikasi di bidangnya masing-masing, mulai dari fotografer handal seperti Mas Kristupa Saragih, sutradara dan novelis Fajar Nugros, Pemimpin Redaksi Galang Press seperti Mas Kunto, Indit yang mendedikasikan hidupnya mengajar di pedalaman dengan SOKOLA, beberapa kawan yang menjadi dokter, dosen, pekerja NGO, sampai mengenal baik beberapa wartawan handal seperti Mbak Luki Aulia di Kompas, Mbak Retno di Media Indonesia, Ruri yang sempat di Tribun Batam, dan tentu saja… Femi Adiningsih, yang daku baru saja tahu dari pemberitaan hari ini, kalau Femi meraih beasiswa penuh dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta karena tulisan-tulisannya di GEMA BERNAS dulu. Kamu memang hebat, Fem!

Waktu itu ketika daku masih jadi External Communications untuk perusahaan rokok di Jakarta,  tentu saja harus berhubungan baik dengan teman-teman media cetak terutama dari desk bisnis. Femi yang waktu itu masih bekerja di Harian KONTAN (sekarang Femi bekerja di Bloomberg) menjadi kontak andalanku. Terkadang kami ngobrol ngalor ngidul via FB chat atau Yahoo! Messenger. Sampai suatu ketika dia bertanya,

“Dim, kamu kenapa gak jadi wartawan lagi?”. Daku kenal Femi, sosok jurnalis yang memang bercita-cita menjadi jurnalis dari SMP. Layaknya daku. Daku pun bingung menjawabnya. Iya, daku juga sempat menjadi reporter di majalah walau sekilas. Tetapi dunia PR juga membuatku jatuh cinta. Daku bilang ke Femi, “Iya Fem, pengen sih, tapi ternyata dunia PR juga seru. Daku udah ngerasain jadi reporter dan sekarang jadi PR. Daku paham sih, pasti reporter terkadang sebel banget kan sama orang PR? Karena kesannya kalau lagi butuh aja baru ngehubungin. Tapi, daku jadi belajar Fem, gimana menjadikan temen-temen jurnalis itu sebagai teman. Karena, I’ve been there before, hihi”. Femi tertawa membaca jawabanku. Dalam hati daku berkata, “Daku gak secerdas dan setangguh kamu, Fem..”.

Sampai blog ini daku tulis, daku belum tahu pasti kabarmu, Fem. Daku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga kamu diberikan yang terbaik oleh-Nya. Tentu daku berharap kamu baik-baik saja. Notifikasi demi notifikasi dari teman-teman Veteran GEMA (begitu kita menyebutnya) bersahutan di group Blackberry. Semua khawatir, daku khawatir, tetapi kami hanya bisa berdoa. Semoga yang terbaik untukmu Femi Adiningsih… Kawan seperjuangan, ketika kita harus menulis di sudut ruangan mungil itu, satu komputer lawas itu, catatan-catatan kecil yang berhamburan di meja, dan tawa lepas anak-anak berseragam sekolah berbau keringat sepulang liputan ketika langit Jogja mulai tampak menggelap. (*)

dagadu djokdja itu…

Masa kuliah daku merupakan fase masa yang paling seru. Gimana gak seru kalau masa kuliah daku kalau di total bisa mencapai 9 tahun? Hihihi. Walau sepanjang waktu itu daku menghabiskan waktu di lima fakultas berbeda sih… Ho oh, lima. Kaget? Daku aja kalau sekarang mikir, apa yang ada di otak daku pada masa itu, ya? Ck ck ck…

Terlepas dari masa kuliah yang lama, daku bersyukur bisa kenal dengan berbagai karakter dari seluruh penjuru Indonesia. Tepatnya di Jogja, pusat pendidikan bangsa ini. Belajar memilih bersikap dan bertutur dengan baik daku pelajari dari orang-orang disekeliling: ibu penjual gudeg, aak penjual bubur kacang ijo, keluarga besar kos, teman kuliah, dan puluhan sahabat dari masa SMP sampai kuliah. Luar biasa. Rasanya kalau boleh memilih, daku rela sekali untuk terus tinggal di Jogja, tapi ya rada sulit, secara masnya ini juga bukan asli warga Yogyakarta, je.

Lalu apa Dim fase yang seru selama saat kuliah? Kerja part-time alias paruh waktu! Di Jogja, kesempatan kerja paruh waktu banyak sekali, bahkan daku sempat menjalani banyak (banget) kerja part-time selama kuliah. Selain mencari ilmu, daku senang karena bisa nambah banyak teman baru sampai tambahan uang jajan (dan tetap sih jomblo). Kerjaan jadi Sales Promotion Boy berbagai produk, penyiar radio (dan sebentar di TV), Liaison Officer, sampai menjaga konter kaos daku jalanin dengan suka riang. Walau tentu saja artinya: waktu belajar daku berkurang, plus hampir gak pernah bisa nongkrong-nongkrong ganteng sama temen-temen kampus. Bahkan ada satu fase termengerikan dalam hidup daku, yaitu kuliah 3 tempat sekaligus kerja part-time di 3 tempat juga! Capek? Tell me about it! Rasanya ingin membelah diri, dah. Tapi jelas gak mungkin, daku bukan amoeba. Jadinya daku sering kali memulai aktivitas dari jam 7 pagi untuk kuliah dan kelar jam 1 pagi sesuai dengan kelarnya jam siaran. Tidur? 6 jam udah keren.

Tapi sungguh daku tak pernah menyesal sih… Karena dari semua pekerjaan itu, daku diajari tetap tersenyum & riang walau sedang capek atau kesal, harus bisa mikir cepat walau sedang bingung mengatur jadwal hari itu dan mengantuk, serta masih banyak ilmu lainnya yang daku dapetin. Tetapi kalau ditanya, dari semua pekerjaan part-time, mana yang paling berjasa? Tidak lain tidak bukan adalah PT Aseli Dagadu Djokdja. Iya, perusahaan produsen kaos oleh-oleh dengan desain yang lucu-lucu itu, hihi. Daku beruntung banget bisa bekerja sebagai Garda Depan (biasanya disingkat Gardep) angkatan XI sebagai pekerjaan paruh waktu pertama daku. Tugasnya? Melayani konsumen di konter Dagadu yang waktu itu ada di Malioboro Mall dengan nama Posyandu dan juga baru buka Unit Gawat Dagadu (UGD) di Pakuningratan. Gak mudah untuk diterima jadi Gardep pada masa itu – daku gak ngerti  sih kalau antusiasme mahasiswa sekarang – karena kami harus melewati serangkaian tes sebanyak 7 tahap dan jumlah pendaftar mencapai 1200-an. Emang berapa yang diterima, Dim? Delapan… saja. Kejam ya, hihi…

Continue reading “dagadu djokdja itu…”