Daku ingin bertanya, waktu kecil cita-cita kalian apa hayo? Kemungkinan terbesar cita-citanya paling standar anak kecil ingusan yang kemana-mana bawa permen adalah kalo gak jadi insinyur *selamat menangisi diri nak, sekarang adanya Sarjana Teknik, hihi* paling juga pengennya nanti jadi dokter. Yaaa ada juga si beberapa yang pengen jadi pilot atau presiden *Presiden? Di negara ini? Hebat sekali anak itu…*. Kalo dirimu apa Dim? Emmm dengan gagah berani daku bilang…. Daku ingin jadi petani! Iya petani. Kayaknya keren aja kemana-mana bawa cangkul dan celurit *lha itu petani apa PKI ya? Du du du…*. Belum lagi bisa makan beras tiap hari, soalnya daku tuh dari kecil punya kebiasaan aneh, suka makan beras! Hihi… Kan enak toh malah gak repot?
Mama: “Dimas, hari ini mau makan apa? ”
Dimas: “Apa aja deh Ma, yang penting kenyang.”
Mama: “Ya udah itu dah Mama sediain beras di meja satu kilo. Makan yang banyak ya!”
Dimas: “…….” *abis itu daku berubah menjadi punya bulu dan berparuh, alias jadi ayam kampung, huhu*
Tapi akhirnya semua berubah. Setelah lulus SMU daku ingin kuliah Peternakan. Berhasil gak Dim? Bo, dua kali daku keterima UMPTN di Peternakan tapi gak pernah diambil! Padahal daku udah membayangkan berjalan sambil membawa rantang, tikar dan teh hangat, kemudian duduk manis sambil memandang kambing-kambing peliharaanku berlarian dengan riang, lalu kemudian bernyanyi,
“Mana dimana anak kambing saya, anak kambing tuan ada di pohon waru. Mana dimana jantung hati saya, jantung hati tuan ada di kampung baru. Caca marica he hei! Caca marica he hei! Caca marica ada di kampung baru…”
Lalu siapakah Caca Marica yang dicari itu? Ada hubungannya kah dengan Cucu Cahyati? Atau Cica Kuswoyo? Hanya pengarang lagunya yang tau…
Well kembali ke cerita semula, akhirnya setelah kenyataan tak seindah yang dibayangkan, daku sadar, daku terlahir untuk terkenal. I was born to be famous! Daku terlahir untuk berada di depan lampu blitz dan kamera! Haha…. *tertawa kejam*
Karena punya bibir berlebih dan bisa diem kalo lagi tidur dan makan doang, makanya daku meniti karir menjadi penyiar. Penyiar Dim? Iya penyiar! Itu lho, orang yang suka ngomong sendiri, ketawa sendiri terus cerita-cerita gak penting *kabur ke Sandra Dewi sebelum digebukin para penyiar*. Awal karir daku siaran di radio rock yang sudah almarhum, padahal massa pendengarnya cukup lumayan tuh. Tapi siaran disana sungguh perjuangan luar biasa, karena daku tak pernah dengerin lagu rock. Paling maksimal cuma dengerin Geger Band yang kondang sekali itu. Terpaksa dah daku menghapal lagu-lagu Slipknot, Deftones, sampe Nine Inch Nail. Setiap pulang siaran rasanya bibir berbusa dan menjadi disleksia. Dan kemudian harus relaksasi dengan mendengarkan lagu Pance F. Pondaah dan Poppy Mercury di dalam kamar.
Lalu daku pernah juga siaran di TV Pemerintah bawain acara kuis jam 2 pagi, pake kemben sambil melet-melet terus bilang,
“Ayo dong, sekaliiii lagi aja kirim SMSnya, masa diem aja si…. Kalo kamu kirim sekaliii lagi, bakal dapet hape ini lho, sama senyuman akuh….”
PLAK! Emang daku cowok ganteng apaan! Jadi, selain daku siaran, kadang daku juga turun ke lapangan buat cari berita. Tapi entah kenapa kayaknya kamera memang bukan teman yang baik. Suatu hari ketika rekaman reportase,
Dimas: “Pemirsa, saat ini saya berada di salah satu museum…. *krik krik krik*… Mas ulang ya, hehe…”
Kameramen: “Iya gak papa, yuk take lagi.”
Dimas: “Pemirsa, apa yang Anda lakukan di waktu luang ada bersama keluarga? Apakah pernah Anda berkunjung ke museum dan … *krik krik krik* …. Mas ulangin lagi, daku lupa! Huhu…”
Kameraman: “Gak papa, sekali lagi ya…”
Dimas: “Pemirsa, siapa sangka di tengah kota Jogja seperti ini tersembunyi sumber sejarah yang sayang untuk Anda lewatkan. Museum ini… *krik krik krik* …. Mas aku…”
Kameraman: *lempar kamera ke muka daku dan ikat daku di pohon pake kabel mic*
Sungguh berbakat sekali. Berbakat menyebalkan maksudnya.
Lalu daku juga pernah siaran di salah satu radio kondang yang bernama Prambors Jogja, tapi di jaman daku awal siaran masih pake nama Jogja Radio. Berkumpul dengan penyiar-penyiar senior hebat dan berbakat tentu jadi berkah buat daku yang kalo ngomong aja suka belepotan. Nama siaranmu sapa Dim? Jangan kawan, itu aib! A-I-B! Haha… Singkat cerita, pada suatu hari daku bersama empat sahabat penyiarku ikutan kuis KOMUNIKATA di TPI. Ini kuis ngetop dan happening banget jaman daku masih gaul, hihi… Nah disini tugas para peserta dalam satu kelompok adalah harus saling menebak sebuah kata, dengan cara menerangkan beberapa kalimat yang bisa meng-guide si penebak tentang kata yang disembunyikan itu. Daku semangat sekali, ini saatnya daku muncul di TV nasional! Setelah lolos audisi di Jogja, berangkatlah aku, Mas Deka, Mas Luthfi, Ferre dan Ryan audisi di Jakarta.
Akhirnya sampai lah kami di ruang audisi KOMUNIKATA. Okey, setelah kami berdiri berbaris dengan kostum pantai, Mas Luthfi sebagai orang pertama dibisikin clue yaitu PIANO. Uh itu gampang banget! Sama seperti kayang di kasur.
Clue pertama dari Lutfi ke Ferre : “Alat musik yang dipencet? Ferre menjawab : PIANO!” *lancar bo*
Clue kedua dari Ferre ke Ryan : “Selain organ? Pakai tuts? Ryan menjawab : PIANO!” *sukses dengan gemilang*
Clue ketiga dari Ryan ke Dimas : “*nyanyi* Cintaku padamu… Takkan berubah… Ita Purnamasari kalo nyanyi, megang apa Dim?”
Dimas: *berfikir keras dan lalu berteriak dengan lantang* “TAHI LALAT!”
Sejak kapan Ita Purnamasari nyanyi sambil megang tahi lalat?! Satu studio terdiam. Bumi berhenti berputar. Kamera meleleh. Dan aku… MALU! Salah total, huhu… Sampe sekarang keempat sahabatku itu masih membahasnya kalo ketemu, bahkan Mas Deka posting di salah satu tulisan di blognya, hihi. Akhirnya daku sadar, I was not born to be famous. Nasib… Nasib… (*)