wisata murah dengan buku

 

Free Image Hosting at allyoucanupload.com

“The greatest gift is the passion for reading. It is cheap, it consoles, it distracts, it excites, it gives you knowledge of the world and experience of a wide kind.” – Elizabeth Hardwick

Membaca itu jendela dunia. Aku setuju sekali. Sangat setuju. Sumpah deh. Teringat masa kecilku dulu, sebagai anak seribu pulau yang mengikuti bokap berpindah-pindah ke berbagai penjuru kota kecil, tentunya sedikit sekali hiburan yang bisa aku dapat dari sekitar. Kalau sudah bosan bermain bareng temen-temen komplekku, aku punya satu alat wisata alternatif andalan yang bisa mengantar aku ke dunia penuh imajinasi yaitu buku, iya buku. Beruntung aku punya bokap yang memiliki kegemaran membaca tingkat tinggi. Dulu setiap pergi ke kota besar beliau tak pernah lupa membawakan oleh-oleh kesukaanku, buku cerita. Dari kecil aku paling suka baca buku cerita legenda-legenda Indonesia *jadi tentunya aku sudah paham dengan alur cerita sinetron legenda di Indosiar atau Trans TV itu, hihi* sampai buku cerita dongeng dunia. Sejak kecil pun aku sudah tak asing membaca berbagai majalah bokap dan nyokapku, dimulai dari Tempo, Kartini *bagian Oh Mama oh Papanya dong! Hihi…* sampai Intisari yang menurutku isinya sangat informatif dan keren. Kalau sekarang gak tau kenapa kok berasa lebih bagus National Geographic ya dibandingin Intisari… *ya iyalah, plak!*

Beranjak dewasa *buset bahasanya!* kegemaran membacaku semakin menggila, dari spanduk di jalanan sampe buku-buku setebal bantal aku baca dengan tekun. Kalau jaman masih di bangku sekolah sih enak, karena aku bisa ngerampok bokap di Gramedia untuk minta dibeliin buku ini dan itu, mengambil semua yang aku pengen seperti di dalam supermarket. Nah kalau sekarang kudu pinter-pinter ngatur uang sendiri, jangan sampe akhir bulan aku kehabisan dana, terus terpaksanya makan sehari-hari pake lauk buku, hihi.

Tapi akhir-akhir ini, rasanya membaca itu menjadi berat, menjadi suatu hal yang wajib bin harus dilakukan. Berlanggakan dua koran sekaligus, Kompas dan Kontan tampaknya salah satu ide brilian yang membuatku semakin meratapi nasib tiap harinya. Jadi inget waktu dulu jaman aku training penyiar TVRI Jogja, Ibu Usi Karundeng pernah bilang,

“Jadi penyiar itu jangan sekedar baca berita, kamu harus tahu apa yang terjadi di Indonesia dan dunia, baca koran tiap hari!”

Atau seperti kata salah satu dosen favoritku Prof. Sri Redjeki,

“Kalau baca koran itu jangan cuma satu saja, baca juga koran lainnya, supaya kalian punya perspektif yang lebih luas dan obyektif. Saya setiap hari baca lima koran.”

Astaga! Saya sih mau-mau aja Bu baca lima koran, tapi pasti aku gak sempet kuliah, mandi dan makan, lah wong baca dua koran aja berasa seharian, hihi.

Belum lagi, buku-buku bahan skripsi dan tesis yang masih lebih dari lima belum sempat kubaca tuntas, karena tiap lima belas menit baca bukunya, kepala langsung cenut-cenut dan tangan otomatis ngambil remote TV, nonton deh, hihi… Juga jangan lupa buku-buku jatah bulanan yang belum sempet kebaca sampe sekarang. Ada gak yang bersedia bacain bukuku terus nanti kalo dah selesai baca tolong ceritain ma aku isinya apaan? *kabur!*

Btw, agak aneh ya denger buku jatah bulanan? Hm ini sih faktor kebiasaan aja. Karena tiap bulan aku selalu menyempatkan diri ke toko buku diskon di Jogja untuk beli buku-buku yang menurutku seru. Masalah di baca apa gak, itu belakangan, yang penting punya dulu sebelum kehabisan, hihi… Apalagi dulu bokap pernah bilang,

“Uang berkurang gak papa, asal dipakai dengan bijaksana, utamakan dulu buat makan dan buku.”

Tuh, coba bokap bilang uang boleh diabisin terutama buat dugem atau beli drugs, pasti aku jadi anak salah gaul, haha. Nah sejak itu, entah kenapa kadang aku suka lupa diri kalo ngeluarin uang buat makan ataupun beli buku. Tapi ya minimal aku pun jadi punya kebiasaan penting gak penting yaitu selalu membawa satu buku di dalam tas, jadi kalau menunggu sesuatu atau mengantri bisa dihibur dengan membaca buku.

Lagipula buku-buku yang aku beli sering kali juga dibaca oleh keluarga. Misalkan saja novel-novel Fira Basuki sampai J.K Rowling dengan Harry Potter-nya pun ikut bokap baca dengan seksama, hihi. Tak heran beliau memiliki pengetahuan yang menurutku luas sekali. Jaman masih ada kuis Who Wants To Be a Millionaire di RCTI, hampir semua pertanyaan bisa beliau jawab dengan baik dan cepat. Sedangkan aku, hanya bisa melongo karena masih mencoba memahami pertanyaannya yang aku belum bisa ngerti maksudnya, hihi.

Tak terbayangkan bila di dunia ini gak ada buku, sehingga semua harus serba lisan, pasti dunia ini akan menjadi ribut sekali. Berisik. Atau apa mungkin buku akan tergeser oleh hadirnya teknologi internet dengan buku onlinenya? Yah mungkin aja sih, tapi kan gak semua orang punya akses internet dan gak semua orang juga mampu berlangganan internet dengan modemnya *duh kapan ya gue punya, hiks… Beliin dong Pa, hihi ngarep!* Apalagi biasanya format buku online berupa pdf, kebayang aja kalo baca Harry Potter dalam format pdf, bisa jereng ini mata.

Seandainya saja Indonesia menerapkan subsidi kertas dan percetakan seperti di India, pasti semakin banyak orang-orang Indonesia yang mampu membeli buku. Seperti kata Tylla Subijantoro temen baik saya yang sedang kuliah S 2 Hukum di Delhi University India dan pernah bikin heboh masyarakat di Indonesia akan adu argumennya dengan Presiden SBY beberapa tahun yang lalu,

“Disini Dim dengan uang lima puluh ribu rupiah saja kita bisa beli bermacam-macam buku kuliah plus majalah bagus!” *Oh Tuhan, tolong deportasi saya ke India!*

Kalo di Indonesia dengan uang segitu, paling juga cuma dapet satu buku atau mungkin satu majalah Popular, hihi. Tapi aku setidaknya sekarang merasa sedikit cukup lega, karena beberapa koran seperti Koran Tempo dan Kompas sudah berani membandrol harganya menjadi seribu rupiah lalu dijual di kampus-kampus atau pun di beberapa ruas perempetan jalan di Jogja. Artinya hak atas pengetahuan bagi rakyat atau pun akses untuk mendapatkan berita terbaru sudah bukan hal yang eksklusif lagi. Jadi, kira-kira kapan nih pemerintah berani menghapuskan Pajak Pertambahan Nilai atas kertas, cetak, dan sirkulasi? Atau ya setidaknya kapan pemerintah benar-benar siap mengalokasikan 20% APBN untuk pendidikan di Indonesia? Ya mari kita sama-sama berdoa dan menunggu, semoga saja bukan sekedar cerita dongeng yang aku baca ketika masa kecil itu… (*)

Author: Dimas Novriandi

An Indonesia-based lifestyle blogger covering city life, style, travel, gadget, book and menswear world.