Tentang Nilam & Camar Biru

Daku mengenal sosok penulis Nilam Suri tanpa disengaja. Waktu itu daku sebagai klien yang mengunjungi kantor tempat Nilam bekerja dulu dan kemudian pertemanan kami berlanjut dengan ngobrol sana-sini di dunia maya. Setelah beberapa waktu, daku baru tahu Nilam menerbitkan novel dengan judul ‘Camar Biru’, daku bergegas membelinya, and I just love it! 

Lalu suatu hari ketika daku ngobrol dengan Em, dimana kantornya – Gagas Media – mengadakan GagasDebut Virtual Book Tour, daku dengan semangat turut memperkenalkan penulis-penulis muda berbakat yang karya fiksinya diterbitkan pertama kali oleh GagasMedia. Nah, berikut di bawah adalah cerita Nilam kepada Em mengenai pengalamannya menulis Camar Biru. Ada satu kesamaan daku sama Nilam, daku juga susah disiplin menulis buku, bedanya daku gak kelar-kelar mpe sekarang, jiahaha. Yuk, simak cerita seru Nilam! 🙂

Sebenarnya ketika diminta oleh Em untuk menuliskan pengalaman saya ketika menulis ‘Camar Biru’ ada perasaan agak sungkan… Bukannya apa-apa, tapi permintaan Em itu mengingatkan saya betapa sangat nggak produktifnya saya, karena tahun ini sudah hampir berakhir tapi belum ada satu novel lagi pun yang berhasil saya selesaikan, yeah well, setelah Camar Biru yang terbit akhir tahun lalu tentunya.

Tapi mengenang kembali saat-saat saya menulis novel pertama (dan semoga bukan satu-satunya) saya itu selalu menimbulkan perasaan yang menyenangkan. Buat saya, berhasil menyelesaikan satu buah novel adalah suatu pencapaian pribadi yang luar biasa. Kenapa? Karena dari dulu saya memang sudah sangat suka menulis, tapi nggak pernah bisa memiliki cukup disiplin diri untuk menyelesaikan suatu tulisan yang lebih panjang daripada cerpen, sampai akhirnya saya berhasil menyelesaikan Camar Biru ini.  So, yaiiy for me!

Camar Biru saya tulis pada tahun 2011. Saat itu rasanya, kalau boleh sedikit drama, saya sedang berada di titik terendah kehidupan saya. Saya saat itu adalah seorang single parent yang baru saja kehilangan pekerjaan saya beberapa hari menjelang lebaran. Tapi yang namanya hidup, tetap harus bergerak ke depan, bukan? Saya bukanlah orang yang malang, karena saya memiliki support system yang luar biasa yang mengizinkan saya untuk tetap mengejar mimpi saya apapun yang sudah terjadi di dalam hidup saya saat itu. Jadi, sambil duduk di bangku sebuah gerai kopi di pinggiran danau, saya mulai memutuskan bahwa hidup saya nggak boleh hanya begitu-begitu saja. Saya nggak bisa selalu menunggu seseorang untuk “menyelamatkan” saya, bahkan walaupun para penyelamat itu adalah orangtua saya sekalipun. Maka saya mulai melakukan satu-satunya hal yang saya tahu bisa saya lakukan, saya mulai menulis.

Setiap hari, di antara kelas-kelas S2 saya, saya mulai memasuki dunia 4 orang sahabat yang bagi saya istimewa. Keempat orang itu, masing-masing memiliki tempat istimewa dalam hati saya sehingga begitu saya ‘menemukan’ mereka, rasanya saya nggak ingin berhenti menulis. Hal itulah yang membuat menyelesaikan Camar Biru nggak memakan waktu lama. Novel itu berhasil saya tulis hanya dalam waktu kurang lebih 1-2 bulan. Awalnya, Camar Biru berasal dari sebuah cerpen yang sudah lama ‘teronggok’ di dalam laptop saya, berjudul Rumah Pohon. Tentang dua orang anak kecil (bagian dari 4 orang sahabat tadi) yang akhirnya memiliki tempat kecil untuk mereka jadikan neverland mereka. Dan saat pertama salah satu dari kedua anak itu merasakan sesuatu yang istimewa kepada sahabatnya.

I know, I know….cerita cinta di antara sahabat adalah topik yang sudah sangat umum, mungkin banyak orang yang sudah bosan…atau malah mungkin tidak? Karena seiring dengan keumumannya, ada seorang sahabat lain yang diam-diam jatuh cinta pada temannya. Dan bukankah permasalahan bagaimana mengutarakan hal ini tanpa khawatir merusak persahabat selalu menjadi hal yang menarik?

Tapi masalah bilang atau tidak bukanlah sesuatu yang menjadi isu dalam Camar Biru. Camar Biru menceritakan tentang dua orang yang bertolakbelakang. Bagaimana yang satu hanya ingin menghilang sedangkan yang lain hanya ingin yang ingin hilang tadi menjadi segala-galanya. Dan juga tentang bagaimana rasa hangat persahabatan pelan-pelan merambat dan bertumbuh menjadi sesuatu yang mampu membuat pipimu bersemu merah. Hei, kamu nggak akan tesipu-sipu tanpa merasakan sesuatu pada orang yang membuatmu malu itu.

Tapi sebenarnya, Camar Biru adalah tentang kebahagiaan dan bagaimana melangkah maju ke depan. Dan bahwa sahabat yang mencintaimu bukanlah orang yang akan menghadiahimu kebahagiaan di atas nampan perak, tapi adalah orang yang akan membuatmu menjadi berani untuk berjuang meraih kebahagiaanmu sendiri.

Sekarang kehidupan saya bahagia, semuanya jauh lebih baik dari saat saya menulis Camar Biru. Kata orang kebahagiaan kadang bisa melumpuhkan…tapi semoga kebahagiaan saya sekarang hanya akan membuat saya sedikit terlena, sebelum kembali ‘mengangkat pena’ dan menulis kembali. Mungkin, membahas kembali tentang Camar Biru akan berhasil mengembalikan semangat saya untuk menulis novel lainnya.

Jika kamu sudah, akan, atau baru ingin membaca Camar Biru, saya harap, kamu juga bisa segera menemukan kebahagiaanmu sendiri.

Cheers.