Pagi hari ketika saya sedang dalam perjalanan ke kantor tak sengaja saya membuka linimasa Twiter. Ada satu twit dengan lampiran gambar yang langsung menarik perhatian mata saya. Gambar yang bertuliskan, “Selamat Selikuran Dagadu Djokdja”. Dalam bahasa Jawa, selikur itu diterjemahkan menjadi 21. Ternyata usia produsen kaos khas dari kota Jogja ini sudah menginjak usia yang tak bisa dibilang sebagai remaja lagi.
![](http://i307.photobucket.com/albums/nn288/dimasnovriandi/B64ZyO5CUAQ_L2Q_zps053d72fb.jpg)
Pada usia yang sama, waktu itu saya masih bekerja paruh waktu di Dagadu Djokdja. Kepercayaan yang besar bagi saya pada masanya serta kesempatan yang mahal karena untuk menjadi Garda Depan/Gardep (begitu mereka menyebutkan para pekerja paruh waktu) di Dagadu Djokdja tidaklah mudah. Ketika itu kami harus melalui seleksi sebanyak 8 tahap dengan pendaftar hampir mencapai 700 mahasiswa/i dari Jogja. Sedangkan yang diterima ternyata hanya delapan orang dengan kontrak selama 8 bulan. Wah, tak sadar ternyata banyak angka 8 yang muncul, ya? Mungkin itu angka keberuntungan saya, haha.
Anyway, bagi saya pengalaman bekerja paruh waktu di Dagadu merupakan pengalaman yang mahal. Dalam banyak hal. Pada saat umur 20an awal, saya bukanlah pemuda yang bisa dibilang sabar. Pada saat itu saya belajar, tak semuanya bisa kita kerjakan sendiri. Ada beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama. Melatih kesabaran dalam menjalankan berbagai proses menjadi kunci.
Saya juga belajar sabar dalam melayani konsumen. Saya baru sadar, tak semua orang bisa menghargai pekerjaan saya dan teman-teman yang bekerja di berbagai gerai toko di sekitarnya. Di sana saya menemukan berbagai wujud watak manusia.
Saya semakin paham bahwa orang baik tidaklah harus ditemukan dalam wujud dengan pakaian mentereng, mereka yang bisa makan enak di gerai fast food, atau menggunakan perhiasan mahal. Orang baik bisa ditemukan di mana dan situasi apa saja. Saat itu saya menemukan deretan teman baik yang menjaga gerai ice cream Baskin & Robin, toko Gramedia, sampai konter kecil foto instan di sebelah gerai Dagadu. Mereka sering berbagi panganan kecil mereka kepada saya dan teman-teman, menyapa hangat dengan tulus setiap hari, dan tak pernah bosan berbagi rejeki atas apa yang mereka miliki. Bukankah kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan? Mereka mengajari saya hal itu.
Selain itu saya belajar integritas. Bekerja dengan teman-teman yang seluruhnya mahasiswa (dan tentu kami butuh uang) serta diberikan kebebasan mengelola barang dagangan sampai keuangan setiap harinya, tentu kami sangat bisa melakukan kecurangan kapan saja apabila mau. Tetapi saya tak pernah menemukan itu. Kami diajarkan bagaimana dunia kerja sesungguhnya. Kepercayaan itu diberikan untuk dijaga, bukan untuk disalahgunakan.
Terakhir, persahabatan. Kami saling menghargai satu dengan yang lainnya sebagai keluarga. Saya ingat karena waktu itu secara umur saya yang paling kecil, terkadang saya mendapatkan jatah waktu makan lebih awal, haha. Mereka juga selalu memastikan saya aman sampai di kos sepulang kerja, meminjamkan uang ketika saya kehabisan dana di akhir bulan – dimana saya sering terlalu gengsi untuk minta tambahan ke orang tua, dan memastikan saya baik-baik saja dalam segala hal. Ah, saya jadi berpikir bahwa saya terlalu dimanja pada masa itu, haha.
Satu hal, yang pasti saya sangat bersyukur atas pengalaman yang mahal ini. Saat ini, mungkin sudah ada ratusan alumni Garda Depan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia. Kami mendapatkan pengalaman yang tak disediakan oleh banyak perusahaan di Indonesia, tetapi Dagadu percaya, bahwa kemampuan bekerja harus dibentuk sejak dini dan kesempatan itu harus diberikan bagi mereka yang punya tekat dan memliki daya juang untuk menjalaninya. Sekali lagi, terima kasih Dagadu dan selamat beranjak dewasa! (*)