#Day18: Seperti Tukang Sate

Kadang hidup itu seperti menanti tukang sate. Kenapa tukang sate? Karena bagi saya menanti tukang sate untuk lewat depan rumah itu waktunya tak pernah bisa saya duga. Ketika saya sudah merasa kenyang dan siap untuk tidur, rasanya entah berapa kali tukang sate favorit saya melewati depan rumah dengan suara khasnya. Tetapi sebaliknya ketika saya berasa kelaparan dan di rumah tidak ada makanan tersedia, entah kenapa tak ada satu pun tukang sate yang lewat. Saya sering bertanya-tanya, tampaknya filosofi Law of Attractions tidak bisa berhubungan dengan kebutuhan perut.

Sama seperti ketika kita hendak mencari barang yang dibutuhkan di dalam kamar. Terkadang ketika kita belum perlu, barang itu tampak di depan mata: tergelak di meja, samping kasur, lemari, atau di tempat terjangkau lainnya. Tetapi begitu kita perlu, rasanya benda itu hilang ditelan bumi. Biasanya karena kita terburu-buru dan panik. Berasa familiar?

Begitu pun dalam hidup. Ketika kita sudah mengetahui keinginan kita, kita akan berdoa setiap saat agar hal tersebut dapat segera terwujud. Tetapi Tuhan punya caranya sendiri untuk mewujudkannya. Kadang bisa segera diberikan, kadang perlu waktu yang cukup lama, dan seringnya keinginan kita belum dipenuhi sama sekali – untuk saat ini.

Saya belajar, ketika ada masa dimana saya menginginkan sesuatu bahkan menjadi salah satu doa utama saya untuk cukup lama, ketika akhirnya tercapai, terkadang pada akhirnya saya merasa bukan itu yang saya cari dalam hidup. Membedakan apa yang saya inginkan dengan apa yang saya inginkan orang lain melihat saya ternyata totally different. 

Akhirnya saya memahami, ketika kita membutuhkan atau memerlukan sesuatu, jangan terburu-buru. Terkadang yang terbaik akan diberikan pada saat yang tepat. Tidak perlu gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Memastikan apakah ini kebutuhan atau hanya keinginan sesaat merupakan misteri terbesar yang harus saya pecahkan dengan hati-hati.

Pada akhirnya, seperti menanti tukang sate, ketika akhirnya tidak lewat, tentunya saya tak akan bersedih. Mungkin saya akan melewatkan malam itu dengan lapang dada sampai menanti datangnya pagi atau saya akan menelpon restoran fastfood terdekat untuk santap malam. Semua akan berbalik pada diri kita, pasti akan ada jawabannya tergantung bagaimana usaha kita dan campur tangan Tuhan untuk mewujudkannya. Ah saya jadi ingin makan sate, sayang malam ini ia lagi-lagi tak lewat depan rumah. (*)

#Day17: Kartu Pos Itu

Semakin lama saya semakin lupa rasanya menulis dengan jari tangan. Setiap hari jemari ini lebih jamak menyentuh papan huruf di laptop, gawai, dan benda teknologi lainnya. Hal ini bukan saya saja yang mengalami, tetapi saya yakin banyak orang yang turut merasakannya. Contohnya saja rekan sekantor saya Garth yang penasaran ketika melihat saya menulis semua jadwal meeting di dalam agenda hitam saya. “Jadi setiap hari lo catet semua jadwal di buku itu, Kak?,” tanya Garth.

“Iya, tapi tetep sih Kak, semua jadwal aku masukin lagi ke dalam gadget supaya tak lupa. Vice versa. Jadi kalau ada undangan via email akan langsung aku catat di buku ini,” jawabku sambil semangat. Bagi saya, kegiatan ini juga menyalurkan kesukaan saya menulis dengan pulpen dan terkadang memberikan warna tulisan berbeda untuk tujuan yang berbeda pula. Bisa untuk janji pertemuan yang personal sampai hari ulang tahun teman-teman. Hal ini sebenarnya sudah saya lakukan sejak masa kuliah. Saya gemar mengumpulkan beragam alat tulis dan menulis catatan dengan rapi.

Toko kartu pos yang saya temukan di Beijing

Tetapi saya sadar bahwa kegiatan ini sangat personal. Tidak ada yang bisa saya bagi dengan orang lain. Lalu saya teringat, saya memiliki beberapa sahabat yang gemar mengirimkan kartu pos ketika mereka sedang bepergian – biasanya ketika mereka menginjakkan negara atau kota yang pertama kali dikunjungi. Sebagian besar kartu pos itu masih saya simpan dan sebagian kecil saya pajang di ruang kantor saya untuk sekedar mengingatkan rasa bahagia ketika menerimanya dan membaca tulisan tangan yang tertera.

Bagi saya, menerima kiriman kartu pos menjadi pelipur lara dimana saat ini hampir tak ada lagi teman atau saudara yang mengirimkan surat dengan tulisan tangan untuk bertukar kabar. Semua sudah tergantikan dengan teknologi yang semakin canggih dan terus tergantikan dengan cara baru. Pada akhirnya saya sering menjawab pertanyaan teman-teman saya yang menanyakan mau oleh-oleh apa ketika mereka akan menuju suatu tempat, saya pun dengan cepat menjawab, “Kalau tak merepotkan, boleh ya kirimin aku kartu pos”. Walau pun terkadang dibalas dengan tatapan bingung, pada akhirnya mereka pasti mengirimkan sehelai kartu melalui pos dengan kegembiraan yang tertulis dengan jelas. Mungkin mereka tak pernah sadar, kegembiraan itu menular dan saya menyimpan kegembiraan itu di setiap kartu yang akan saya jaga dengan baik.

Pertanyaannya, kapan kamu terakhir kali menerima/mengirimkan kartu pos? (*)