menanti di ullen sentalu

Matahari masih bersembunyi di balik pecaran awan membiru. Hawa sejuk lereng Gunung Merapi pun menusuk di sela-sela raga. Kudekapkan tangan seolah menghalau dingin, lalu kupejamkan mata cukup sejenak. Aku kembali… Yah, aku kembali lagi ke tempat ini. Tak biasa ku melangkah menuju gerbang itu tanpa ditemani sepasang sepatu berwarna pastel yang biasa engkau semat diantara jemari. Kapan engkau kembali sekedar untuk menikmati sepucuk jadah tempe di bawah langit teduh Kaliurang bersamaku lagi?

Pintu gerbang kayu itu terbuka tipis. Tampak panorama yang asri mengiringi tingkah ikan kecil yang menari diantara sela-sela teratai dan gemiricik air yang tenang. Ku menapaki tangga menurun menuju ruang Guwo Selo Giri, lorong bawah tanah yang berarsitektur Jawa berpadu padan dengan gaya Eropa. Sungguh menawan. Setiap sudut berpendar harum bunga ceplok piring seakan menggiringku ke masa lalu. Mata ku pun tertahan menatap rangkaian lukisan dan jalinan cerita yang mengiringinya. Riwayat para raja hingga putri keraton yang mecinta.

gerbang-ulen

Tuturan dari ruang Guwo Selo Giri telah terhenti. Kini kumelangkah menyusuri labirin batu kali menuju beberapa bangunan di kompleks Kampung Kambang yang berada di atas kolam air. Empat ruangan terpisah satu persatu berkisah. Kita selalu terpaku lama di ruang Balai Sekar Kedaton, ruang yang bercerita tentang kisah cinta Tineke yang tak berestu. Membaca satu persatu surat yang bertutur gelisah ataupun memahami sebait puisi yang menangisi cintanya bertumbuh bersama perih. Ah Tineke, engkau lebih beruntung, setidaknya rasa cinta itu menjalar bersamamu diseduh waktu, sedangkan aku, tak ingin merasakan cinta sampai waktu berdentang melagu.

Ruang-ruang lain pun mengalir. Salah satu ruang menceritakan tentang filosofi batik yang kita pun tak enggan menjelaskan dengan mendalam. Pasti engkau tak lupa motif batik truntum yang dibuat istri raja itu, ketika ia merindukan sang pangeran hati tuk memadu hatinya. Motif yang berhikayat bila kita mengenakannya, cinta lama akan bersemi dan memeluk dirimu kembali. Makna yang sungguh dalam dan penuh pengharapan. Layaknya Shinta merindu kedatangan Rama.

Secangkir Kusmayana telah menanti. Menghangat di jemari, teringat akan dirimu kembali. Engkau selalu tak pernah meragu meneguk resep istimewa putri Kusmayana yang diyakini dapat membuat kita awet muda. Aroma jahe, kayu manis, gula jawa, garam dan daun pandan melebur menjadi satu. Suguhan akhir perjalanan yang sempurna. 

Buddha statue inside the stupa

Kulanjutkan langkah ke arah selatan. Suara gending jawa sayup-sayup merebak mengiringi angin yang bertiup lembut. Mataku menyadap pandangan ke bangunan apik bernuansa kolonial di ujung sana. Restoran Beukenhof, bagaimana mungkin aku lupa akan bangunan bernuansa kolonial Belanda itu? Disana, aku dan kamu, mengurai cerita ditemani secangkir coklat panas dan kopi pahit. Atau sekedar berbagi kudapan kecil dalam diam, merayakan matahari yang meredup luruh. 

beukenhof-restaurant

Sendiriku kini, ditemani deraian pohon pinus menyapa dan secangkir coklat panas yang biasa kuhirup. Aku akan selalu mengharap kedatanganmu kembali, duduk berhadapan dan menuturkan semua kisah yang sudah kita lewatkan. Museum Ullen Sentalu sungguh memang tak banyak berubah. Tapi museum ini tampak hampa tanpa kita yang menyusuri jalan setapak, menyebar pandangan menatap patung-patung klasik disekeliling, seakan-akan mereka sedang menyapa dan menembangkan, 

patung-ulen

Yen ing tawang ana lintang cah ayu, aku ngenteni tekamu, marang mega ing angkasa nimas sun takokke pawartamu.” Ya, aku akan selalu menantimu, disini, di museum Ullen Sentalu. (*) 

Author: Dimas Novriandi

An Indonesia-based lifestyle blogger covering city life, style, travel, gadget, book and menswear world.