kenapa harus aku?

“Iman! Kenapa harus aku sih yang jadi interpreternya representative UNSW?! Lu kan tau English ku lagi cacat-cacatnya?”

Rasanya ingin menangis. Aku gak PD. Sudah lama tak berkomunikasi dengan bahasa asing itu. Membayangkan orang-orang mengantri ke meja konsultasi UNSW (University of New South Wales – Australia), dengan 2 representative bule di kanan-kiriku, dan aku harus menterjemahkan kata per kata yang mereka bicarakan kepada orang Indonesia yang bertanya, langsung membuat keringatku mulai mengalir.

Sudah sejak 2001 aku bekerja lepas sebagai Liaison Officer, istilah kerennya perantara atau pendamping (eh moga bener ya), istilah gak kerennya, bagian bantu-bantu serba bisa, hihi… Pengalaman bekerja pertama sebagai LO sewaktu ada event internasional Asean Tourism Forum tahun 2001. Bertemu dengan orang-orang asing dari seluruh dunia dan berinteraksi dengan mereka sungguh menyenangkan. Seharusnya.

Tapi aku punya pengalaman unik bin sedikit menyebalkan. Waktu itu ketika aku dapat tugas untuk jadi LO event Obat Nyamuk Internasional di Hyatt Jogja (oke, aku juga bingung, penting yang bahas obat nyamuk?!). Ada 3 orang delegasi dari Singapura dan aku harus menjemputnya di bandara. Kami pun bersalaman dan aku mulai ber cas cis cus menjelaskan tentang Jogja sepanjang perjalan menuju hotel, dan mereka pun semangat bertanya ini itu.

“Dimas, do you know how long the ring road steet in your city?”

“zing….* aku terdiam”

Plis deh Om, ngapain juga nanya-nanya panjang jalan ring road?! Aku pun cuma bilang,

“Ups, I’m sorry sir, I don’t know the answer. But I will ask my friend then…”

Sepanjang beberapa hari acara berjalan, aku cukup sering bertemu dengan ke 3 tamu itu diantara beratus-ratus tamu yang hilir mudik. Kadang-kadang aku sempatkan menyapa dan mengobrol sedikit dengan mereka. Akhirnya sampai juga di malam farewell dinner. Meja-meja makan malam tertata apik. Aku pun bertemu lagi, dan salah satu dari mereka memanggilku,

“Dimas, have a seat with us please”

“I am sorry sir, it is not polite for us to sit with you”

Aku pun tersenyum dengan gigi yang tampak semuanya (tampaknya menyeramkan) dan berbicara dengan tata bahasa yang amburadul seperti biasa.

“No, don’t worry, just for a minute, please”

“Hm… Oke sir”

“Dimas, we want to say something, first, we would like to say thank you for your help so far, and the second…. Sebenarnya kami ini bukan orang Singapura, tapi asli Bagan Siapi-api. Memang sih kantor utama kami di Singapura. Maaf ya kami udah ngerepotin kamu dengan ngobrol pake bahasa Inggris, haha….”

Apa?! Jadi selama ini daku capek-capek ngomong English belepotan ternyata mereka bisa bahasa Indonesia? Damn! Akhirnya kami semua pun tertawa. Menertawai kebodohanku. Hihi…. Pengalaman yang aneh.

Pendek ceritanya kawan, akhirnya aku beruntung bisa bergabung dengan rekan-rekan seprofesiku di Sabayatsa Liaison Officer. Melihat teman-teman satu profesi sebenarnya cukup membuat minder, karena rata-rata mereka pernah ke luar negeri dengan berbagai beasiswa yang mengikuti mereka (mengikuti karena mereka pintar, haha), ada yang bisa 2 bahasa asing (lah aku? English aja pas-pasan), atau minimal beberapa dari mereka sudah foto dengan selempang predikat cum laude sewaktu wisuda. Diam-diam aku pun mengidolakan mereka semua.

Oke, kembali ke cerita awal, besok untuk ke tiga kalinya Sabayatsa menerima tugas sebagai penerjemah di event IDP Australia, suatu lembaga nirbala yang memberikan informasi mengenai pendidikan di Australia. Event pertama aku absen. Event kedua aku cukup beruntung mendapatkan Flinders University – Adelaide yang ternyata representativenya gak jadi datang karena ada travel warning. Akupun hanya didampingi officer IDP yang asli Indonesia. Hihi… Aku pun tertawa waktu itu, melihat teman-temanku yang sibuk menyusun kata terjemahan untuk masing-masing wakil universitasnya. Sedangkan aku, hanya sibuk membaca-baca prospektus dan bermimpi bisa kuliah disana.

Wah Mbak, asik banget ni gedungnya! Eh apa lagi yang ini, ck ck… Mbak pernah kuliah disini kan?”

Diantara orang yang berkonsultasi aku pun menghabiskan waktu dengan chit chat dengan mbak IDP yang mendampingi.

Kemudian mataku menuju meja UNSW, ada LO Aulia si cantik nan pintar disana, pernah tinggal di New York dan program pertukaran pemuda ke Canada. Kanan-kirinya ada representative bule. Penuh sesak, orang-orang berebutan untuk dapat jatah konsultasi dan mendapatkan prospektus. Bahkan dari waktu pertama kali meja buka sampai waktu habis, orang-orang tak hentinya begitu exciting untuk memburu mereka bertiga dengan pertanyaan.

“Thanks God, untung bukan aku. Apa kabar kalo aku yang jadi interpreter?”

Waktu berlalu. Dan kemudian…

Aku gembira mendapatkan kabar dari Luthfi, sahabat LO yang mengabarkan ada kerjaan IDP lagi. Wajahku memerah kegirangan.

“Asik! Kayaknya sekarang jadi resepsionis aja ah”

Tapi itu tampaknya tak terjadi kawan. Aku mungkin akhirnya akan terdampar di meja UNSW. Dan malam itu, rapat LO pun dimulai….

Imey si manis, rekan LO yang sekarang bekerja di IDP Yogyakarta, mulai membagi-bagikan prospektus,

“Ini buat Iman, ini buat Happy, ini buat….”

Akhirnya semua telah terbagi.

“Loh aku mana, kok gak dapet prospektusnya?”

Dalam hati aku bertanya-tanya. Dan ternyata… Aku jadi ditempatkan di bagian registrasi! Sialan! Iman membohongi aku! Tapi tentunya ini menjadi happy ending story. Hihi… Di meja registrasi artinya less conversation. Less headache.

Yah, setidaknya akhirnya aku tahu rasanya menjadi Nadine Chandrawinata. Gamang berbicara bahasa asing. Dan aku juga memiliki rasa takut, kalau-kalau nantinya aku juga bilang ke bule-bule itu,

“Indonesia is a beautiful city”

Aku harus belajar lagi. Supaya aku bisa seperti Jason Tedjasukmana yang bermimpipun mungkin memakai bahasa Inggris…

Author: Dimas Novriandi

An Indonesia-based lifestyle blogger covering city life, style, travel, gadget, book and menswear world.

2 thoughts on “kenapa harus aku?”

Comments are closed.