Pukul sembilan pagi. Secangkir kopi di pagi hari ini menjadi bahagiaku. Bukankah bahagia itu sederhana seperti yang kamu ajarkan kepadaku? Sepotong rendang yang aku simpan di kulkas, sebungkus Indomie rebus yang kusantap sambil menonton sinetron berbahasa Thai yang tak akan pernah aku mengerti, atau sekedar melihat kedipan pelan di Blackberry – tanda kamu membalas pesanku. Iya, bahagia itu sederhana.
Kamu pasti tahu aku tak pernah begitu suka kopi. Pahit di lidah dan pekat setelahnya. Tapi secangkir air berwarna cokelat muda ini menjadi penghangatku — sebagai pengganti genggaman tanganmu. Dan aku masih disini, di coffee shop yang sering aku ceritakan kepadamu. Aku suka duduk disini, sendirian. Tanpa setumpuk novel asing dan binar matamu. Sekilas aku mendengar percakapan di sekeliling yang tidak aku mengerti – dan bahkan aku sengaja tak ingin untuk memahami.
Sesekali aku menghela nafas sambil memandang tungku air yang mulai panas dan tumpukan gelas kertas yang warnanya memudar. Bahagia itu sederhana. Seperti secangkir kopi ini – dan satu pesan pendek yang masuk darimu. Aku tersenyum sambil menyesap harum kopi.
The way you read your books, yes I remember.
Pukul sebelas siang. Ruangan kerja ini sungguh dingin — mataku masih menatap kosong ke arah layar komputer sedangkan aku tersesat di rimba pikiranku akan kamu. Apakah kamu merindukanku? Apakah kamu baik-baik saja disana? Atau aku yang tak baik-baik saja? Tumpukan kertas di meja dan belasan email yang belum terbaca menjadi teman dalam diam.
Seandainya saja menghilangkan rasa rindu itu semudah mengganti channel radio, aku hanya perlu memutar satu tombol dan lalu semua berubah. Rindu. Senang. Lalu bahagia. Tapi hidup bukannya tak pernah semudah itu? Ya, you should know, it’s so hard to be strong when you’ve been missing somebody so long.
The way you tied your shoes, yes I remember.
Pukul dua siang. Sepiring Phad Thai dengan tambahan bubuk cabai dan segelas Thai ice tea sedikit bisa menghiburku hari ini. Ah, seandainya kamu ada disini. Kamu pasti tersenyum kekenyangan sambil menyodorkan sebagian panganan yang tak sanggup untuk dihabiskan. Karena kamu selalu menyantap dessert di awal. Life is short, eat dessert first. Itu mantra yang selalu kami bisikan di telingaku. Sebaliknya, aku tak pernah butuh dessert. Karena kamu dan tawa riangmu selalu menjadi pemanis hari-hariku. Bukankah akan berlebihan apabila aku meminta lebih dari itu?
The cake you loved the most, yes I remember.
Pukul lima sore. Seperti ada yang menggantung di pelupuk mataku. Kucoba mengerjap sesekali untuk menyingkirkan kantuk. Sudah empat bulan aku disini, di City of Angels. Kota malaikat, tanpa malaikat sebenarnya. Kamu.
Sulit rasanya untukku dapat terlelap setiap malam. Mataku terpejam, tapi hatiku tidak. Setiap hari terasa waktu berputar begitu lambat. Seperti langkah pelan anak kecil yang berjalan langkah demi langkah. Tapi kali ini tanpa ada yang akan memeluk erat di ujung sana. Mungkin kutersesat. Hah, kuhela napas lebih dalam. Sebaiknya kuambil secangkir kopi — pengganti genggamanmu. Mungkin dua atau tiga cangkir lagi. Rasanya memang tak akan pernah cukup.
The way you drank your coffee, I remember.
Pukul lima sore sampai sembilan pagi. Aku memikirkanmu. Setiap hari. 24 jam. 7 hari. 12 bulan. 365 hari.
And the way you smile at me, yes I remember…