Dear Hanny,
Apa kabarmu disana? Masih memandangi lampu-lampu berpendar pelan di jalanan Jakarta yang muram? Atau sekedar menghitung titik air hujan yang jatuh di jendela taksi sembari berharap kamu memegang secangkir cokelat hangat di genggaman? Ah, seandainya aku ada disisi kananmu saat ini, kita bisa tertawa lepas dan memulai menertawakan hal yang sama tanpa kita pernah tahu: kenapa, mengapa, bahkan apa yang membuat kita memecah keheningan. Kita hanya tahu satu: kamu dan aku, berada di dunia yang sama.
Jangan khawatir Han, aku baik-baik saja disini. Tidak ada setumpuk berkas, sederet email dengan tanda kotak tertutup, atau nada pesan yang masuk di telepon genggam yang membuat mata kita memerah ditengah malam seperti saat itu. Disini hanya ada detak suara jam dinding yang semakin malam terasa semakin memekakkan telinga, disela sinar bulan yang mengintip dari balik jendela. Ya bulan itu, yang setia menjadi penghantar pesan diantara kita. Karena kita selalu tahu, disaat-saat tertentu, kamu, aku, memandang bulan yang sama.
Disini aku belajar Han, ternyata sendiri – atau perasaan sepi? – tidak sebegitu menakutkan. Aku masih menyimpan dan berteman dengan balon-balon harapan yang pernah aku ceritakan dulu. Beberapa masih kudekap di sela-sela jemari, sebagian telah aku lepaskan diantara ratusan terang jendela condo di tempat aku tinggal saat ini. Lalu aku mulai menggantinya dengan menyusun balon-balon kenangan.
Terkadang, lebih mudah mengingat dan menyimpan masa lalu. Bukankah aku berada disini karena langkah-langkah kecil yang berani aku ambil dengan dorongan semangat darimu, tepukan hangat dari orang-orang terdekat, dan senyum lebar dari mereka yang bilang, “Hei, kamu bisa! Ayo terus!” ketika aku terjatuh dan enggan untuk bangkit lagi? Aku yakin aku bisa selalu tersenyum dan terus melangkah sampai bayanganku meredup.
Malam selalu berganti dengan pagi dan aku terus menghitung hari yang kulewati disini. Menggores satu garis lurus di buku saku yang mulai tampak usang. Satu, dua, tiga, sampai aku terlupa karena sederet angka itu berjalan beriringan dengan rasa rinduku untuk pulang. Terkadang diantara langkah-langkah pelanku, aku berhenti sejenak memandangi kedai kopi bernuansa serba putih di seberang jalan yang menanti kedatanganmu. Aku melihat: bayanganku berbagi cerita-cerita kepadamu, mendengar derai tawamu, atau sekedar duduk dalam hening sambil menunjukkan postcard-postcard yang telah kukumpulkan selama ini.
Karena postcard-postcard itu Han, aku menyusuri lorong-lorong penjaja untuk mencari secarik postcard cantik yang pantas untuk aku layangkan. Ritual baru yang menjadi alasan baru untuk beranjak melangkahkan kaki di setiap akhir pekan. Aku pernah cerita, kan? Postcard-postcard inilah yang akan menyampaikan rasa rindu, sedih, senang, bahagia, atau hanya sapaan ringan untuk orang-orang terdekat. Seperti kamu, dia, mereka, yang selalu mendoakan aku dijeda waktu.
Satu postcard. Satu lembar dua sisi bergambar kota Bangkok dan pesan bertulisan tanganku yang akan menjadi satu pengingat: semua tentang ceritaku. Mungkin aku hanya semakin tua dan takut kehilangan, lalu dilupakan. Postcard-postcard ini yang akan menyebarkan puluhan puzzle kenangan dan menanam ratusan senyum. Karena, suatu saat nanti, mungkin kamu dan entah siapa pun yang menggengamnya, akan bergumam dalam hati, “Aku mengenal lelaki ini yang begitu mencintai hidupnya”.
Dear Hanny. Iya, aku baik-baik saja. Tanpa secangkir kopi digenggaman dan senyumanmu dengan mata memerah yang selalu aku ingat. Jangan khawatirkan aku.
PS: I’ll send you – a first postcard to remember.
#DearBangkok: a postcard to remember
![](https://dimasnovriandi.com/wp-content/uploads/2011/10/bangkok-postcard.jpg)