#10 cup: Berdamai dengan Asap dan Rokok

Asap tipis berlomba-lomba membuntang dari mulutnya, tangannya pun sesekali bergerak cepat membuka halaman demi halaman buku. Ritual panjang yang kadang dilakukan kala hari mulai redup atau pun sesekali waktu pendek di pagi hari. Mata kecilku menatap tajam. Melihat asap bertebangan dan kemudian menyatu dengan udara yang aku hirup. Bara api itu seakan-akan menyihirku untuk menatap proses subtitusi sebatang rokok yang pelan-pelan berubah menjadi abu yang berterbangan, melayang, lalu menyatu bersama debu.

Di sisi waktu, entah berapa kali masa kecilku dihabiskan hanya untuk beristirahat di kamar, dan dari jendela aku melihat teman-teman kecilku berlarian di halaman rumah atau bermain perang-perangan di antara pepohonan cemara. Penyakit asma membuatku tak sanggup untuk tertawa gembira menggiring bola di kala senggang waktu. Asma, membuatku tak sanggup untuk menghisap paparan asap rokok, tentunya asap yang keluar dari mulut ayahku. Sejak saat itu, aku enggan menatap asap rokok, lalu menjadi musuh nomer duaku setelah penjahat-penjahat yang muncul di serial Ultra Man. Dan mulai saat itu juga, ayahku tak pernah lagi merokok di depanku.

***

”Jangan merokok di kamar Dimas woi! Dia kan alergi asap rokok,” salah satu sohibku di SMU berbicara dengan sedikit lantang. Entah kenapa, rasa-rasanya satu sekolah juga tahu kalo daku paling males ngeliat asap rokok. Walau satu geng SMU yang lebih dari 20 orang itu rata-rata cowok perokok semua, tapi mereka juga selalu mejauh dariku kalo udah mulai menghisap bara rokok. Mereka juga selalu siap ngingetin orang-orang yang merokok di dekatku untuk menjauh.

Sebenarnya gak segitunya juga sih alerginya. Bukan berarti daku kalo kena asap rokok, si asma langsung kambuh, nafas megap-megap kemudian terkapar dengan indahnya di lantai. Sama seperti ikan mas koki yang dikeluarkan paksa dari akuarium mungil, hihi… Adanya daku akan melewati beberapa fase terlebih dahulu, dimulai dari bersin – pilek – batuk-batuk – baru kemudian asma kambuh. Itu pun butuh waktu yang cukup lama.

Tapi bukan berarti daku gak pernah nyoba-nyoba ngerokok. Jadi inget jaman daku masih siaran di salah satu radio di Jogja, kami satu angkatan penyiar training beramai-ramai ’belajar’ ngerokok. Alasan merokok? Simpel sih, soalnya denger-denger kalo rajin merokok suaranya bakal berat. Kenyataannya setelah sebulan lebih ngerokok, suara daku tetep aja gak jadi seberat suara Beby Romeo, siyal! Hehehe….

Begitu pun temen-temen kosku, kayaknya hampir semua demen ngerokok. Bahkan ada yang mulai dari bangun tidur sampe mau tidur kerjaan ngerokok mulu. Masuk kuliah kagak, ngerokok jalan mulu. Jangan-jangan dia sejak lahir rokok itu udah nempel di tangannya ya? Hihi… Kata temenku yang satu ini,

”Mending gue gak makan Dim, yang penting bisa ngerokok, hehehe… Ngerokok bisa bikin kenyang juga.”

Kalo gitu kenapa gak sekalian ada rokok rasa strawberry atau tiramisu ya? Atau seperti varian rasa Indomie, rokok rasa soto Medan atau coto Makassar?

***

Tapi sebegitu daku menghindari akan asap rokok, dan begitu sebelnya daku sama orang ngerokok sembarangan, akhirnya rejekiku pun tak jauh-jauh juga dari dunia rokok. Daku pun sekarang bekerja di perusahaan rokok paling moncer saat ini di Indonesia. Menariknya, daku disini juga bertugas sebagai salah satu garda terdepan yang bersinggungan langsung dengan media mengenai industri rokok ini. Nah lho…

dimas-rokok

Ironis? Gak juga. Karena dengan daku mencemplungkan diri ke industri ini, setidaknya daku menjadi tahu akan banyak hal. Terutama bahwa perusahaan daku bekerja sekarang tidak pernah mengingkari bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan dan memiliki komitmen hanya menjual rokok produksinya kepada perokok dewasa yang memilih untuk merokok.

Lalu apakah semua karyawan yang bekerja di kantorku ngerokok? Itu sama saja seperti mitos yang bilang kalo cewek duduk di pintu sore-sore bakal berat jodoh, hihi… Atau paling daku balik bertanya sambil bercanda,

”Emangnya kalo orang jualan BH juga harus pake BH ya?”

Kenyataannya di departemenku sendiri saja hampir semua bukan perokok. Hei, merokok itu pilihan, bukan keharusan.

Sesungguhnya yang membuat daku bertanya-tanya, mengapa di negara ini tidak ada payung hukum yang memberikan larangan merokok bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun ya? Liat aja, begitu gampangnya adik-adik kita di bangku SD, SMP dan tentunya anak SMU membeli rokok di kios-kios, bahkan kadang-kadang ayah atau kakaknya sendiri yang nyuruh anaknya atau adeknya untuk beli rokok, nah lho! *berasa kembali menjadi mahasiswa hukum*

Bahkan kalo dibilang iklan rokok penyebab anak-anak menjadi ingin merokok, sepertinya perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Lah bayangin aja iklan rokok di Indonesia itu malah seperti hiburan, karena lucu dan dan butuh kecerdasan untuk memahami pesan yang tersirat, bisa tentang politik, sosial, ataupun daily life. Tidak ada unsur sama sekali yang menunjukkan batang rokok atau pun seseorang dengan asiknya sedang merokok. Apalagi iklan ini muncul di atas pukul 21.30 setiap harinya, bukan? Ya tapi ini menurut daku lho, setiap orang berhak untuk berpendapat.

Sebenarnya nih, menurut daku malah tampaknya lebih berbahaya sinetron Indonesia yang sering muncul dengan tokoh bermata melotot ketika marah, dan tangisan lebay dari tokoh-tokohnya yang mulai dari pembantu, anak sampe majikan, semua tampak muda dan cantik. Contoh yang menyesatkan. Kalo daku jadi anak muda jaman sekarang yang hobi nonton sinetron, pasti tiap dimarahin bokap, daku akan menangis heboh plus teriak-teriak lebay, bikin surat minggat dari rumah, dan berjalan pelan dipinggir jalan sambil berharap bakal ditabrak mobil sama orang kaya, kemudian ternyata yang nabrak itu cewek cantik yang akhirnya jatuh cinta ma daku, kekeke. Atau… Daku akan menyanyi sambil berderai air mata ala Agnes Monica,

”Kau dengan dirimu sajaaaaa…. Kau dengan duniamu saja…. Teruskanlah! Teruskanlah! Kau begituuuu.”

Eh, kembali ke masalah merokok lagi ya, hihi… Jadi sebenarnya nih, mengenai bagaimana konsep orang merokok pertama kali taunya ya… dari bokap. Bagaimana cara memegang, cara menghisap dan seterusnya. Begitu pun temen-temen di sekitar, biasanya mereka memulai merokok karena faktor lingkungan, bukan begitu? Memang, begitu banyak alasan kenapa orang merokok. Sama seperti alasan orang demen ngopi ataupun rela mengantri buat beli yoghurt Sour Sally yang kecil-asam-mahal-iyuh-gak-banget-itu *perumpamaan yang aneh, hihi*.

Jadi teman, ketika merokok menjadi pilihanmu, bertanggungjawablah dengan pilihan itu. Kata temen baik saya, jadilah perokok yang budiman. Tidak merokok di tempat umum, tidak membuang puntung rokok sembarangan serta memahami konsekuensi merokok bagi tubuhnya. Sama seperti kita, yang rajin makan makanan fast food, sama-sama berbahaya bagi kesehatan bukan? Apalagi kalo kebanyakan, selain bikin kolestrol bertambah, kantong pun semakin menipis, hihi… Jadi teman, apakah kamu memilih menjadi perokok budiman atau memilih untuk tidak merokok? (*)

Note: tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili perusahaan atau pun lembaga tertentu, catet! Hehe….

#9 cup: (NO) Devils Wears Prada

Cewek manis itu berjalan dengan langkah cepat. Fashionable. Indeed. Stocking hitam pekat, sepatu flat kuning, gaun terusin selutut yang senada dengan warna sepatu, plus tak lupa kacamata model jadul duduk manis di hidungnya. Di sebelahnya pun tampak sosok yang tak kalah menarik perhatian mataku. Cewek yang daku tebak masih berusia belia dengan rok hitam sepaha, masih dengan stocking hitam, rompi abu-abu dengan sepatu dengan warna tak beda. Dia tampak terburu-buru sambil membawa satu baju tergantung. Tak murah. Mungkin harga baju itu pun berkali-kali lipat dari gajinya sebulan.

Di ruanganku. Majalah-majalah kondang dari berbagai negara tertumpuk di samping kubikel. Tampak sosok-sosok lain sedang sibuk menulis, konsentrasi, walau sesekali terdengar sahutan gelak tawa membahana. Semangat itu. Cerita-cerita itu. Daku bagian dari mereka. Being journalist. Wartawan. Di satu majalah lifestlye pria ternama, sebuah franchise dari manca negara. Cool job!

Dulu daku membayangkan kerja di majalah yang bersentuhan langsung dengan fashion, pasti akan bertemu cewek-cewek cantik ataupun cowok-cowok yang semuanya sinis bin menyebalkan ala Catherine Wilson. Kalo kebanyakan baca novel dan film menang kadang begitu cepat meracuni otak yang kapasitasnya cukup merana ini, hihi. Tapi pada kenyataannya, daku bertemu dengan temen-temen seru dan hebat di sana. Satu hal yang mungkin daku belum pupuk dengan baik adalah passion. Pekerjaan menjadi wartawan itu bukan sekedar menulis, curhat dengan seenak jidat dan tiba-tiba muncul di majalah. Kalo gitu mah bikin aja majalah sendiri, hihi.

Beberapa hari kerja daku udah bisa mulai liputan ke sana dan ke mari. Salah satu rubrik di majalah daku itu adalah kumpulan foto-foto socialita berpesta atau bertemu lalu kemudian di foto, dan munculah kemudian foto-foto mereka beserta nama-namanya. Tapi jangan bayangin itu pekerjaan mudah, ternyata tidak kawan. SUSAH.

Suatu hari Mbak Noni, senior editor yang baik hati dan cantik mengajak daku ke salah satu gathering perbankan asing. Di sana bakal ada dinner dengan berbagai petinggi perbankan di Indonesia.

“Dimas, nanti kamu foto-foto semua tamu yang oke dan jangan lupa tanya namanya ya.”

“Sip, oke Mbak Non.”

“Jangan lupa, foto yang itu.. Itu… Nah yang itu juga… Terus yang itu… Kurang lebih bisa dapet 20 foto.”

*glek*

Sumpah, daku gak ada yang kenal satu pun. Semua orang bank itu tampak sama dengan jas atau blazernya, seperti pion-pion catur berwarna hitam. Sebagian pun tamu orang asing. Bagaimana daku bisa mendapatkan namanya?

Daku ambil satu-satunya notes yang daku punya di dalam tas dan itu… NOTES BESAR. Duh booo, daku bukan mau try out SPMBkan? Mondar-mandir pake tas ransel dan notes besar, huhu… Yang bisa aku lakukan adalah satu tangan memegang kamera dan satu tangan lainnya memegang bibir dengan satu telunjuk. Lalu poto deh dari tampak samping. Cekrek! Jadi deh poto ala ABG di Friendster dan Facebook, hihi. Aslinya sih daku kerepotan menfoto dan lalu bertanya satu persatu nama mereka. Keringet dingin bercucuran di antara orang-orang berbaju jas. Notes itu pun daku pake buat mencatat nama mereka satu-persatu. Bener-bener pengalaman yang ‘berbeda’.

Belum lagi pas di undang press conference. Dulu jaman jadi PR consultant, biasanya daku yang mengundang wartawan buat dateng ke acara presscon, tapi kali ini daku yang di undang, hihi. Dulu bener-bener daku ngerasain betapa susahnya pekerjaan PR untuk mengundang media datang. Ternyata memang seru juga sekarang bisa ngerasain hal sebaliknya, akhirnya daku bisa jual mahal ke PR, kapan lagi kan? Hihi…

“Maaf Mbak Miyabi, saya ndak bisa dateng ke acara press con-nya karena lagi ada kerjaan.”

“Yah… Kok gak bisa sih Mas, kenapa?” *nada menyesal yang rada dibuat-buat*

“Iya Mbak Miyabi, maaf ya. Kami boleh kan minta press release-nya aja?”

“Boleh dong Mas, duh dari media Mas pasti gak mau ya dateng ke acara kami, kami maklum kok, hehe…” *tertawa aneh*

“Gak gitu kali Mbak, memang bener-bener gak bisa, hehe… Makasih ya Mbak Miyabi sebelumnya, releasenya tolong dikirim ke email bla bla ya” *nada flat*

“Lain kali dateng lho Mas Dimas, hahaha…” *tertawa mengerikan*

“….. “

Dalam hati daku berkata, “untung aja sepanjang daku jadi PR, satu kantor gak pernah bertindak aneh seperti manusia kekurangan obat depresi kayak gitu.”

Hari demi hari daku lalui dengan liputan ke sana ke mari. Bisa makan enak plus kenalan sama wartawan media lain. Entah kenapa ya, ketika dulu daku di posisi PR rasanya susah sekali memulai pembicaraan tapi kalo di posisi sesama wartawan semua terasa lebih mudah. Semudah Sheren Sungkar berakting lebay di sinetron. Segampang Dewi Persik bikin sensasi. Juga semudah Andi Soraya masuk infotainment.

Seminggu lebih daku menjalani profesi seru itu, tiba-tiba daku harus menentukan pilihan yang berat. Dilema. Terjepit di antara dua pilihan. Do you want to follow your dream or just be realistic about your future? Intinya, daku diterima di perusahaan lain, tepat sejam daku tandatangan kontrak di majalah itu. Sebuah perusahaan yang lebih menjanjikan dari sisi penghasilan dan karir. Daku bingung mana yang harus dipilih. Mau pake jilbab yang pink atau yang ungu *lho?*. Akhirnya, aku putuskan mencopot ID Pers yang baru kupakai beberapa hari itu. ID yang membuatku tersenyum berhari-hari. Sebuah pekerjaan yang daku cita-citakan sejak di bangku SMP ketika masih rajin menulis di sebuah surat kabar lokal.

Teringat di postingan awal tahunku, resolusiku hanya satu. Mendapatkan pekerjaan yang akan daku jadikan karir untuk kedepannya. Setidaknya di pekerjaan yang terbaru ini daku masih bertemu dengan temen-temen media, daku masih menulis, dan hidup lebih teratur. Tentu Tuhan tahu yang terbaik dengan rencana-rencana-Nya. Mungkin memang jalanku bukanlah menjadi wartawan. Setidaknya daku belajar satu hal, bekerja dengan passion akan membuat semuanya lebih mudah dan tak ada kata menyerah.

Tiba-tiba lamunanku terhenti. Seorang cewek manis dengan rambut tergerai panjang, bersandang baju gelap sampai paha dengan tali pinggang berwarna kulit, tak lupa sandal gladiator berwarna senada berjalan melewatiku. Harum. Binar matanya sama dengan teman-teman yang menyusul di belakangnya. Tawa mereka. Cerita mereka. Semangat mereka menulis berita dan bercerita. Daku akan merindukan semuanya. There are no devils wears Prada. (*)