#5 cup: (bukan tentang) Laskar Pelangi

Pekerja di Jakarta lagi demam. Tepatnya pekerja di Jakarta lagi pada punya mainan baru, yang kadang-kadang sampe bikin mereka autis, antisosial, bahkan melupakan berita hangat terkini bahwa Dewi Perssik sekarang lagi terbaring kelelahan di rumah sakit *eh, emang itu penting ya Dim? Hihi*. Nah pasti pada bingung mereka pada lagi demam apa? Yang jelas bukan Tamagochi ahhh! Itu so last year darling…  Nah jadi… Tepatnya mereka semua itu lagi pada demam dengan benda teknologi multitasking bernama Blackberry! Ya seringnya sih disingkat BB, entah kenapa ya, padahal asosiasi BB selama ini tentu saja Bau Badan, hihi… Jadi seharusnya Blackberry kudu menguatkan brand awareness-nya dengan lebih baik lagi, misalnya… butuh jasa PR? Hubungi daku, kakaka….

Dirimu gak pengen Dim? Emmm ada yang mau beliin? *melambai-lambaikan sapu tangan supaya terlihat*. Dengan keadaan menenteng kemana-mana empat nomer operator kayaknya kalo daku nambah satu gadget lagi bisa-bisa daku dikira punya tangan gurita dan punya pohon uang yang terus berbuah supaya bisa bayar semua tagihan pulsa, hihi…

Lalu karena di kantor daku yang dianggap paling gape masalah teknologi akhirnya pun kelimpahan pertanyaan-pertanyaan, sampe suatu hari setelah pulang makan siang,

Dew: “Dimce, daku baru beli hape Nokia baru nih, eh gimana ya caranya bo setting ini hape supaya bisa terima email?”

Dimas: “Bisa si jeung, tapi itu kan pake system push-up email gitu, jadi rada ribet.”

Dew: ” …. “

Dew: PUSH EMAIL KALEEE DIMASSS, bukan PUSH UP!”

Hihihi… Ya maap, begitulah teknologi, kadang memang membuat bingung.

O, iya, daku juga lagi kesel sama manusia-manusia Jakarta yang pengen serba praktis tapi ngerepotin! Misalnya aja kalo lagi ngantri bayar barang di kasir, entah di Carrefour, Gramedia atau di mana aja, kadang daku gak habis pikir, bayar 40 rebu aja kudu pake kartu debit atau credit card, AMPUN! Secara yang ngantri udah kayak ngantri daptar audisi KDI, masi sempet-sempetnya bayar cuma satu barang tapi pake kartu plastik. Belum lagi pake acara mikir,

“Emmm pake kartu yang mana ya? Yang biru atau yang merah? Yang limitnya belum abis yang mana? Aduh tanya orang rumah dulu apa ya?”

Tuh! Apa gak pengen jambak rambutnya, tampar-tampar terus dimutilasi dan dimasukin karung beras?! Hihi… Sadis bener sih Dim.

O, iya daku punya hutang untuk posting tentang my first blogger gathering ever! YAY! Akhirnya setelah sekian lama mengeblog dan dikenal sebagai salah satu blogger sok kondang, hihihi…. Daku ngumpul juga dengan temen-temen blogger yang juga plurker Jakarta. Di Senin (06/10) malam yang ramai, sekitar 20-an manusia yang sering saling menghujat di blog dan plurk pun akhirnya berkumpul sudah di food court Senayan City.  Tak perlu jaim, tak perlu sok manis, karena semuanya sudah manis, akhirnya daku bisa kenal juga secara langsung dengan temen-temen yang kalo di dunia maya pada gokil dan menggila *kabur sebelum dijitak*. Ternyata aslinya pun para blogger ini adalah manusia-manusia yang satu frekuensi kegilaannya dan seru. Seneng banget punya keluarga besar baru di Jakarta *hugs!*. Acara pun diisi dengan ngobrol, foto, makan, foto, foto, ngobrol, foto, foto, foto, terus F-O-T-O! Edunnn, pantes semuanya pada demen ngeblog, lah wong pada dasarnya narsis dan pengen eksis semua! Hahaha…  Tapi memang rada berat kalo manusia-manusia pengen eksis ini ngumpul jadi satu, karena pas sesi foto semuanya pengen tetep tampak dengan angle terbaik , du du du… Ah jadi tak sabar untuk kopdar lagi *kedip-kedip*.

Lalu setelah tiga bulan di Jakarta gimana Dim? Dah mulai betah? Well, betah gak betah toh hidup bukannya harus terus berjalan. Daku selalu inget akan kalimat,

“Teman itu seperti pelangi, setiap teman memberikan satu warna baru dalam hidup kita.”

Kebayang kan selama di Jakarta daku sudah bertemu dengan berapa warna? I’m happy, pelangi-pelangiku semakin indah di sekelilingku.

Ngomong-ngomong tentang Pelangi *mulai gak fokus nulisnya, hihi*, daku jadi inget seminggu yang lalu udah nonton pelem Laskar Pelangi, hujatlah daku teman-teman kalo daku belum baca novel Laskar Pelangi itu, hihi… Tapi setelah melihatnya, well, nice movie. Cukup indah untuk dilihat dan dinikmati. Tapi adanya daku malah jadi inget masa kecil dulu waktu SD. Daku pernah mengalami tinggal di pulau terpencil di nun jauh ujung Kalimantan Timur. Tapi posisinya mungkin daku bukan jadi Laskar Pelanginya sih, karena daku tinggal di dalam komplek, sekolah di SD perusahaan dan setiap hari pun diantar jemput dengan bis perusahaan *kok daku berasa jadi tokoh antagonis ya?*. Mungkin tanpa sadar, dulu di luar pagar komplekku pun banyak Laskar Pelangi-Laskar Pelangi yang berjuang untuk bisa terus sekolah ya, huhu…  Masa kecil pun berlalu dengan bermain di pantai setiap hari dengan lima sahabat kecil lainnya, yang akhirnya kutemukan satu persatu dengan teknologi Friendster dan Facebook, salah satunya baru saja beberapa hari yang lalu, muncul satu pesan di FB,

“pha kbr lo?? gila udah lama bgt.. tinggal dmana skrg bro?? – Gary “

Seorang sahabat kecil yang kini menjadi artis, yang kisah hidupnya daku selalu ikuti di infotainment, dan hanya satu sisi hidupnya yang aku tahu. Tapi setidaknya aku yakin, seorang sahabat akan tetap menjadi seorang sahabat, walau fisik berubah, jiwa akan terus lah tetap sama.  Ah, betapa merindunya daku dengan sahabat-sahabat masa kecilku, sahabat-sahabatku dari Jogja yang semakin lama semakin jarang berkomunikasi, atau dengan sahabat-sahabatku yang juga sibuk di antara belantara bangunan kota Jakarta, tapi ingatlah, kalian akan selalu menjadi warna pelangiku, pelangi yang tak hanya muncul di kala reda hujan, tapi juga hadir di antara teriknya matahari. (*)

The Goodbye Party (side story of BDM 2008)

Cerita pendek ini merupakan side story dari cerita serial 7 episode berjudul “Bunuh Diri Massal 2008” karya Fajar Nugross & Alanda Kariza yang menjadi fenomena tersendiri di jagat tulis-menulis Indonesia. Suatu tantangan tersendiri untuk menulis cerita ‘gelap’ seperti ini. Makasih ya Mas Fajar telah membuat hari Mingguku jadi depresi, hihi… Ayo bergabung di Bunuh Diri Massal 2008!

BUNUH DIRI MASSAL

by Fajar Nugross & Alanda Kariza

—————————————————————————–

THE GOODBYE PARTY

by Dimas Novriandi

Kerlip lampu jalanan Jakarta berpendar hambar di antara gedung-gedung tinggi yang tampak kosong dan letih. Aku memejamkan mata, mendengarkan sepenggal lagu asing yang samar-samar berdesing di kedua telinga ditingkahi suara deru mobil. ANJING! Bayangan sosok dia terus-menerus berputar, menari-nari bagaikan peri neraka yang tak kuasa kusingkirkan dari pelupuk. Dia yang meninggalkan, dia yang merayakan tragedi, dan dia yang merinai kegetiran. Aku masih hidup, tapi jiwaku mati.

Aku tak tahan mendengarkan lagi lagu getir yang mengalun pelan di radio. Kusingkap lengan kiriku, menekan sekilas satu tombol, dan mulai terdengar suara penyiar dengan nada hiperbola,

Listeners, udah denger belom lo kalo bentar lagi di Jakarta bakal ada acara yang gila banget! Gue gak nyangka ada orang yang berani bikin acara sekontroversial ini, edan pokoknya! Nama acaranya aja serem banget, Bunuh Diri Massal 2008! Iya listeners, bunuh diri, ngilangin nyawa lo secara sepihak atas kemauan lo. Tertarik? Gampang men… Selama lo cowok alias laki-laki, dan ngerasa udah gak punya hati lagi, you should join them! Keterangan lebih lanjut telpon aja Ketua Panitianya, nomernya ….”

Aku tersentak. Kuhentikan mobil secara mendadak. Tak peduli dengan teriak-teriakan nama binatang dari pengendara di belakang, kuambil handphone dan dengan sigap mulai menyimpan nomer kontak Ketua Panita Bunuh Diri Massal 2008. Entah kenapa otak dan hatiku secara reflek bersimbiosis menyuruhku untuk melakukannya. Aku laki-laki, tentu saja. Aku gak punya hati lagi, sungguh jelas, hatiku telah lama hilang. Tapi mati? Gila, itu di luar bayanganku. Walau kadang pernah terlintas, jika aku mati, siapa sajakah yang akan menangisi aku, apakah aku punya secret admirer, bunga apa yang tertabur di pusaraku, dan apakah dia akan datang dan tersenyum menang akan kematianku?

Setelah berhari-hari aku mencari keputusan konklusif, dan tentu saja aku tak layak bertanya kepada Tuhan, disini lah sekarang aku berada. Di lantai 15 gedung megah di tengah kota biadab Jakarta. Finance Director, tulisan itu terukir apik di pintu ruang kerjaku. Seakan tak terusik suara deringan telepon dari penjuru kantor, aku hanya menatap lekat formulir pendaftaran Bunuh Diri Massal 2008. Alasan…. Alasan apa yang harus aku tulis? Kenapa mati harus dengan alasan? Apakah kita lahir di dunia juga butuh alasan? I’m always thinking; life is not a matter of reason, but a matter of choice. Ah sudahlah! Kuambil pena berlapis emas, hadiah sebagai lulusan terbaik sewaktu kuliah MBA di US, dan mulai menulis alasan yang realistis buatku, “Saya cuma mau mati. MATI! HIDUP MATI!” Kutulis dengan kasar dan penuh amarah. Sekali lagi, mati tak pernah perlu alasan. Sama seperti ketika dia meninggalkanku.

***

Ya, namaku Irawan. Lengkapnya Irawan Tanoeatmajda. Anak konglomerat dengan kekayaan nomer urut 21 di Asia versi majalah Forbes. Tidak ada yang kurang dari sosokku. Pintar, karir yang bagus dan sialnya, aku punya wajah yang rupawan. Siapa suruh wanita-wanita itu jatuh cinta kepadaku? Toh aku tak pernah memohon hati mereka. Barak hatiku terlanjur penuh dengan sumpah serapah, sampai-sampai tiada lagi tempat untuk satu kata cinta. Hei wanita! Laki-laki bukanlah sepatu, yang kalian bisa pilih sesuka hati, dipakai, diinjak, lalu setelah bosan, hanya teronggok berdebu di sudut ruang. Tak sadarkah kalian bahwa kami makhluk berdaging yang punya hati?

Sungguh aku tak dendam. Aku hanya mencari ketenangan. Lelah berlari di antara desingan waktu yang berpendar terlalu lambat. Pelan-pelan ku ambil secarik kertas putih di laci, dan kumulai menuliskan surat ini,

Surat selamat tinggal untuk semua,

Tolong, tulis jawaban untuk pertanyaan-pertanyaanku ini dan letakkan di atas pusaraku bila aku telah terbujur mati.

Cinta itu seperti hujan… Aku tak pernah paham seberapa deras tetes air itu akan terus jatuh dan entah sampai kapan pula hujan itu akan membasahi bumi. Apakah kalian tahu kapan cinta akan datang dan pergi dari hatimu? Jangan tanya aku, aku tak pernah tahu. Karena hujan itu masih terus membasahi hatiku tanpa pesan.

Cinta itu seperti musik… Aku bisa bersenandung lagu yang sama dan menari tanpa dahaga. Tapi kapankah musik cinta itu akan terhenti? Aku tak tahu, karena aku masih terus menari walau musik cinta itu telah berakhir.

Cinta itu seperti sebatang rokok… Sungguh manis terasa di bibir pada awal sentuhannya, terlena dalam setiap hela hembusannya, tapi semua akan terhenti seketika bila aku tak mampu mempertahankan bara yang tersisa. Apakah kalian tahu bagaimana cara mempertahan nyala cinta seseorang yang kita cintai?

Aku sungguh tak tahu. Aku hanya tahu, cinta itu hanyalah penderitaan yang aku nikmati. Dan aku memilih mengakhiri penderitaan itu. Cintaku akan abadi tapi kematian lebih abadi.

Selamat tinggal,

Irawan

***
22 September 2008 jam 10 pagi. Ini saatnya, baliho dan spanduk-spanduk perayaan kematian di Gedung DPR/MPR luar biasa marak, malah bisa dibilang terlalu berlebihan. Warna merah darah mendominasi dekorasi seperti pemuliaan kematian berjamaah.

Sekilas ku melihat sang Ketua Panitia BDM 2008, ah tak layak sepertinya bila aku tak sekedar menyapanya, memberinya penghormatan terakhir yang layak dia dapatkan.

“Saatnya telah datang, kamu gak ada rasa takut bos?” Aku bertanya penuh rasa penasaran.

“Ketakutan itu hanya milik pengecut. Cinta telah menghapus rasa takut itu.”

“Sungguh bodoh orang yang mati karena cinta.”

“Lebih bodoh lagi orang yang hidup tanpa cinta.”

“Jadi… Kita hanyalah orang bodoh yang tetap akan bodoh ketika mati.”

“Setidaknya kita menjadi orang yang bodoh yang bisa mencintai.”

Dia tersenyum dan aku pun mengangguk setuju.

Kutulis pesan terakhir untuk dia, wanita yang telah membunuh kata cinta,

Lebih baik kubiarkan engkau mencuri hatiku. Tolong, jika engkau bosan dengan hatiku, kuburkan dia di sebelah hatimu. Tak perlu nisan. Karena memang tak ada yang perlu engkau kenang.

Ah! Aku tak sabar lagi untuk mengejang, menggelinjang, dan diam. Aku ingin mati di kursi dewan terhormat. Tanpa cinta. Tanpa jeda. Hanya ingin mati bersama dia. Dia yang tercabik hatinya oleh sosok wanita yang sama. Dia… Ketua Panitia Bunuh Diri Massal 2008. (*)