dagadu djokdja itu…

Masa kuliah daku merupakan fase masa yang paling seru. Gimana gak seru kalau masa kuliah daku kalau di total bisa mencapai 9 tahun? Hihihi. Walau sepanjang waktu itu daku menghabiskan waktu di lima fakultas berbeda sih… Ho oh, lima. Kaget? Daku aja kalau sekarang mikir, apa yang ada di otak daku pada masa itu, ya? Ck ck ck…

Terlepas dari masa kuliah yang lama, daku bersyukur bisa kenal dengan berbagai karakter dari seluruh penjuru Indonesia. Tepatnya di Jogja, pusat pendidikan bangsa ini. Belajar memilih bersikap dan bertutur dengan baik daku pelajari dari orang-orang disekeliling: ibu penjual gudeg, aak penjual bubur kacang ijo, keluarga besar kos, teman kuliah, dan puluhan sahabat dari masa SMP sampai kuliah. Luar biasa. Rasanya kalau boleh memilih, daku rela sekali untuk terus tinggal di Jogja, tapi ya rada sulit, secara masnya ini juga bukan asli warga Yogyakarta, je.

Lalu apa Dim fase yang seru selama saat kuliah? Kerja part-time alias paruh waktu! Di Jogja, kesempatan kerja paruh waktu banyak sekali, bahkan daku sempat menjalani banyak (banget) kerja part-time selama kuliah. Selain mencari ilmu, daku senang karena bisa nambah banyak teman baru sampai tambahan uang jajan (dan tetap sih jomblo). Kerjaan jadi Sales Promotion Boy berbagai produk, penyiar radio (dan sebentar di TV), Liaison Officer, sampai menjaga konter kaos daku jalanin dengan suka riang. Walau tentu saja artinya: waktu belajar daku berkurang, plus hampir gak pernah bisa nongkrong-nongkrong ganteng sama temen-temen kampus. Bahkan ada satu fase termengerikan dalam hidup daku, yaitu kuliah 3 tempat sekaligus kerja part-time di 3 tempat juga! Capek? Tell me about it! Rasanya ingin membelah diri, dah. Tapi jelas gak mungkin, daku bukan amoeba. Jadinya daku sering kali memulai aktivitas dari jam 7 pagi untuk kuliah dan kelar jam 1 pagi sesuai dengan kelarnya jam siaran. Tidur? 6 jam udah keren.

Tapi sungguh daku tak pernah menyesal sih… Karena dari semua pekerjaan itu, daku diajari tetap tersenyum & riang walau sedang capek atau kesal, harus bisa mikir cepat walau sedang bingung mengatur jadwal hari itu dan mengantuk, serta masih banyak ilmu lainnya yang daku dapetin. Tetapi kalau ditanya, dari semua pekerjaan part-time, mana yang paling berjasa? Tidak lain tidak bukan adalah PT Aseli Dagadu Djokdja. Iya, perusahaan produsen kaos oleh-oleh dengan desain yang lucu-lucu itu, hihi. Daku beruntung banget bisa bekerja sebagai Garda Depan (biasanya disingkat Gardep) angkatan XI sebagai pekerjaan paruh waktu pertama daku. Tugasnya? Melayani konsumen di konter Dagadu yang waktu itu ada di Malioboro Mall dengan nama Posyandu dan juga baru buka Unit Gawat Dagadu (UGD) di Pakuningratan. Gak mudah untuk diterima jadi Gardep pada masa itu – daku gak ngerti  sih kalau antusiasme mahasiswa sekarang – karena kami harus melewati serangkaian tes sebanyak 7 tahap dan jumlah pendaftar mencapai 1200-an. Emang berapa yang diterima, Dim? Delapan… saja. Kejam ya, hihi…

Continue reading “dagadu djokdja itu…”

#DearBangkok: dan hujan pun turun

Jalan setapak itu masih sama dengan pemandangan yang tak pernah berubah: gedung-gedung berwarna ungu, belasan taksi berwarna pink yang bergegas, dan wangi aneka jajanan di sepanjang trotoar. Di satu sudut coffee shop, disana aku duduk sendiri, diantara novel, segelas coffee latte dingin, dan pandangan mataku ke arah trotoar dari balik kaca yang mulai berembun.

Kukeluarkan secarik kertas dari dalam tas kulit berwarna cokelat usang, sesekali kuhela nafas dengan jeda sekian detik, dan mulai menulis…

Dear Hanny,

Hujan tak pernah turun lagi. Titik-titik air dan pekik girang anak-anak kecil yang bermain air rintik hujan, sudah tak pernah lagi aku dengar. Iya, aku merasa kehilangan. Seperti rerumputan yang mulai tampak mengering di halaman luar jendela condo. Kering. Membosankan.

Tapi entah kenapa aku selalu yakin, hujan pasti akan turun lagi: di pagi hari ketika harum roti bakar menyebar di dapurku, siang hari disaat pekerjaan masih menyita waktu, atau sore hari disaat kumerindukan semua tentang dia. Seseorang yang aku ceritakan. Satu sosok yang sama dan selalu bisa berubah wujud menjadi seperti yang kumau. Entah menjadi bintang di langit, angin lembut di balik telinga, atau bahkan menjadi temaram lampu-lampu jalan di malam hari. Ia bisa menjadi apa saja. Aku bahagia, tersenyum, lalu patah hati untuk kesekian kalinya, karena ia tak pernah nyata ada.

Kadang, aku hanya ingin hidup diantara saat-saat aku akan terlelap. Ketika mata enggan terbuka, tetapi raga masih terjaga. Disaat aku bisa mendengar suara jangkrik sampai lolongan anjing – yang terkadang membuatku bergidik, tetapi membuat aku tersadar – aku masih hidup dan masih memikirkannya.

Hujan tak pernah turun lagi, Han… Tetapi aku selalu membawa payung untuk berjaga-jaga. Toh kita tak akan pernah tahu kapan hujan akan turun. Bisa sekarang, lusa, ataupun minggu depan. Bukannya itu sama seperti cinta? Kita tak pernah bisa tahu kapan ia akan datang. Semua serba tiba-tiba, tanpa pesan. Walau aku tahu, andai kamu disini, ketika rintik hujan mulai turun, kamu akan berpura-pura meniup awan-awan hitam di atas kepalaku, lalu kita tertawa dan berlari bergandengan tangan sambil menjejakkan kaki di atas kubangan air, lalu aku akan basah dan kamu tertawa lepas.

Tapi disini tiada dia, kamu, dan hujan. Aku hanya memiliki payung yang menemani. Benda yang menjagaku dari derasnya air hujan yang terkadang ingin rasanya kuacuhkan membasuh basah wajahku, agar tak yang tahu – aku pun meneteskan air mata karena rindu. Tetapi aku enggan membasah, menggigil, tanpa ada dia yang bisa menghangatkanku. Walau ku mampu menggantinya menjadi secangkir cokelat panas digenggaman. Toh dia ada dimana saja, kapan saja, tanpa kenal waktu – dipikiran dan ujung pelupuk mataku. Apakah ini yang namanya cinta?

Iya Han, aku masih menyimpan satu foto yang aku simpan diam-diam diantara notes yang selalu kubawa. Fotonya yang tersenyum, entah karena apa. Tetapi aku tahu, dia bahagia dan aku selalu bahagia untuknya. I always know, someday I’ll look back on that picture and get butterflies because I miss it. Pernahkah kamu merasakan hal yang sama?

Ah, sebaiknya aku bergegas pulang. Entah kenapa tiba-tiba cuaca diluar bermetamorfosa menjadi lebih kelam. Aku khawatir kali ini akan benar-benar akan luruh. Bukan, bukan hatiku yang luruh. Tetapi hujan yang turun tiba-tiba, seperti cinta… dan juga rindu.

See you soon, Han!

Kuberlari kecil dan bergegas membuka pintu ke arah luar coffee shop. Alunan musik pun sayup-sayup kudengar, “should I give up or should I just keep chasing pavements?”. Dan hujan pun turun…. (*)