temani aku di taman sari

Sinar matahari luruh meredup. Siang seperti hilang dibalik banjaran awan yang menghitam. Aku hanya bisa tercekat, berdiri di atas bangunan yang mulai terlihat rapuh. Menyebar pandangan ke setiap sudut, tersirat masa lalu yang tersia-sia, terhapus oleh waktu yang berpendar cepat.

Free Image Hosting at allyoucanupload.com

Tapi, kenapa aku disini? Demi sejarah? Sejarah siapa? Aku atau bangunan ini? Pertanyaan itu menggoda menari-nari, tanpa musik atau gending memalu hati. Aku menapaki tangga satu demi satu. Di kompleks Taman Sari yang berada 500 meter sebelah selatan kompleks Keraton Yogyakarta. Taman yang indah, kurang lebih begitu artinya. Indah? Hanya sisa keindahan yang terlihat, tidak ada lagi taman air yang menawan dengan teknologi yang tak ada tandingan di jamannya. Dahulu kala area antara tenggara taman sampai perempatan kota terisi penuh dengan air, Kampung Segaran namanya. Segaran berasal dari bahasa Jawa yang berarti laut buatan. Setiap Sultan mengunjungi taman, ia berkunjung dengan mendayung perahu melewati jembatan gantung yang disebut Kreteg Gantung yang terletak didepan gerbang istana, wilayah utara atau selatan Kemandungan. Terbayang Sultan mengayuh dayung dengan gagah, menatap indahnya bangunan perpaduan Portugal, Jawa, Islam, dan Cina itu. Saat ini, reruntuhan dari gedung yang berhubungan dengan jembatan gantung masih dapat dilihat.

Taman sari dahulu bukanlah sekedar tempat bersantai bagi Sultan tetapi juga merupakan sistem pertahanan yang unik. Sementara air tidak hanya untuk memperindah taman tetapi juga sebagai senjata rahasia menghindari bahaya. Ketika musuh menyerang, Sultan dan keluarganya dapat melarikan diri melalui terowongan bawah tanah. Ketika semuanya sudah berada di tempat aman, gerbang air akan terbuka dan air akan membanjiri musuh hingga tenggelam. Ah, tapi apakah engkau tahu, hatiku pun telah runtuh dan tenggelam bersama masa lalumu? Continue reading “temani aku di taman sari”

calon novelet: KOSTmopolitan

“Mas kalo yang dikamar ujung itu siapa? Rapi banget kamarnya.”

“Ssstt! Itu si Denis anak Medan, kayaknya dia itu punya penyakit compulsive disorder, semua barangnya harus disusun sesuai warna. Coba buka lemarinya, celana dalam aja bisa urut dari putih ke item, hihi…”

Ini saat-saat yang paling disukai Rando – anak kos yang paling lama tinggal di KOSTmopolitan (begitu biasanya dia dan teman-temannya menamakan tempat kos mereka) – yaitu saat menjelaskan tingkah polah teman-temannya yang ajaib dari setiap penghuni kamar. Apalagi setiap kepala di kos itu punya keunikan yang kadang bisa membuat tangan mengelus dada.

“Nah, kalo si Hendri yang kamarnya sebelah kamar Denis itu bisa ketiduran dimana aja, coba aja ajak ngobrol 5 menitan, pasti dah bablas, kekeke… Maklum anak kedokteran, jam tidurnya minim banget. Kalo mau ngajak ngobrol dia bawa makanan, dijamin baru melek.”

Rama anak kos baru yang terjebak di KOSTmopolitan hanya bisa mengangguk-angguk pasrah. Continue reading “calon novelet: KOSTmopolitan”