Cerita Pendek: Another Love Story

Aku dan dia bersahabat. Melewati ribuan tenggelamnya matahari. Menjejaki ratusan ruang. Dan entah berapa puluh tetes air matanya yang telah tumpah di pundakku. Aku tetap di sini, saat ini. Memandang kedua kerling matanya yang indah.

“Aku akan pergi….”

Kutercekat dalam diam. Lidahku seperti tertusuk paku. Selidik mataku meyakinkan ucapannya yang membuat hatiku luruh. Tapi dia tetap disitu, memandangku tajam.

Hanya jalinan kalimat pendek yang keluar dari bibirku,

“Kita akan selalu bersahabat, kan? Tiada kurang, tiada lebih. Lihatlah jemari-jemariku ini, ruang di antaranya hanya akan ada untuk mengenggammu, entah di saat gundah ataupun bahagia. Bukankah itu yang engkau mau?”

Dia hanya mengangguk pelan. Tetap diam. Dalam lirih dia bertanya,

“Boleh kah aku meminta satu hal padamu?”

“Apa itu? Katakan, aku tak akan pernah mengecewakanmu.”

“Ambil ini. Di tanganku ada dua helai kertas kosong. Aku ingin kamu -dan aku- menuliskan janji persahabatan kita. Tapi berjanjilah, apa yang tertulis di dalamnya hanya akan kita baca di hari pernikahan salah satu dari kita.”

Matanya menatapku dengan penuh kesungguhan. Tapi aku ragu.

“Maksud kamu?”

“Lakukanlah. Aku ingin kamu menulisnya. I’ll keep the promise letter until mine or your wedding day…

Lalu, dia, dalam sunyi mulai menulis:

Aku tak mampu berjanji bahwa aku tak akan jatuh cinta padamu karena… Aku telah jatuh cinta padamu.

Aku tak mampu berjanji bahwa kita hanya akan bersahabat karena… Aku ingin selalu bersamamu selamanya, di setiap detik dari selamanya.

Aku tak mampu berjanji akan menikah dengan orang lain karena… Aku hanya ingin berdampingan denganmu seorang. Tak lain.

Ku menatap lagi kedua matanya, menarik nafas tipis, dan aku pun mulai menulis:

Aku berjanji tak akan pernah jatuh cinta padamu.

Aku berjanji kita akan selalu bersahabat selamanya, tidak lebih.

Dan aku berjanji, aku akan menikah dengan seseorang selain kamu sebagai pasangan jiwaku.

***

10 tahun kemudian.

Hari ini, hari pernikahannya. Mobil warna hitam elegan dipenuhi rangkaian bunga lili telah menepi di pintu masuk gedung pernikahan. Semua orang menantinya menuju pelamin, tetapi wanita cantik itu bersembunyi dalam hening, membaca satu demi satu goresan kalimat di dalam surat yang pernah aku tulis di masa lalu. Dalam senyap, dia menangis pelan.

Entah apa yang dirasakannya, wanita itu akhirnya yakin untuk berjalan menuju ruang ijab kabul. Lalu dengan anggun menghampiri calon suaminya, mengenggam erat jemarinya dan air mata mengalir halus di pipi.

Wanita itu, akhirnya akan menikahi pria impiannya. Sahabatnya. Cinta sejatinya. Yaitu aku.

“Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanyaku.

“Aku baru saja membaca surat perjanjian yang engkau tulis…”

“Apakah… ?” Aku mulai bertanya ragu.

Wanita itu tersenyum dan membisikkan kata, “Aku juga sangat mencintaimu.”


Tepat, di bawah surat yang kutulis, tertulis sebaris pesan:

“Semua janji yang kutulis di atas adalah semua janji yang akan aku langgar. Sungguh. Aku sangat mencintaimu.”

Jakarta, 13 Desember 2008.

Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control.” – unknown

Surat cinta terakhir untukmu, kekasihku

Untuk kekasihku,

  1. Cinta ini, yang selama kujaga dan kudekap hanya untukmu
  2. Tiba-tiba hilang seperti embun dihempas cahaya mentari… Entahlah, aku hanya merasakan hampa dan sepi
  3. Terus bersemi… Setiap kali aku menatap wajahmu,
  4. Aku bahkan enggan untuk sekadar berpaling memandang wajah dan semu di pipimu lagi.
  5. Hanya satu… Satu hal kesungguhan dan keyakinan yang ingin aku lakukan, yaitu
  6. Menanti datangnya hati yang lain. Percayalah, jangan pernah membayangkan aku akan
  7. Menikahimu dan tumbuh bersamamu. Percakapan kita terakhir kali
  8. Terlampau membosankan, dan tolong jangan harapkan pertemuan itu akan
  9. Membuatku ingin bertemu dan meneduhkanmu lagi dalam dekapanku.
  10. Sayangnya, kamu selalu hanya memikirkan dirimu sendiri.
  11. Seandainya saja… Suatu saat nanti ketika kita menikah dan sebaris janji telah terujar, aku sungguh percaya bahwa
  12. Hidup kita akan terasa luruh dan jatuh, dan aku tak akan pernah merasakan
  13. hal itu akan menjadi keajaiban dalam hidupku karena aku dapat hidup bersamamu dan mencintaimu selamanya. Aku menyimpan hati ini
  14. Untuk dicintai, tapi hati ini, cinta ini, bukanlah sesuatu
  15. Yang setulusnya telah kutitipkan padamu. Tiada seorang pun yang lebih
  16. Egois daripada kamu. Dalam hati, keyakinanku tak akan pernah berubah bahwa kamu takkan
  17. Mampu untuk menjagaku, menawan jiwaku dan menemaniku tanpa syarat.
  18. Setulusnya aku hanya ingin kamu memahami bahwa
  19. Aku mengatakan semua ini dengan sungguh-sungguh. Apakah kamu bersedia menolongku
  20. Bila engkau juga merasa ini akhirnya, tolong tak perlu berusaha
  21. Untuk menjawab semua ini. Seluruh surat yang telah engkau sampaikan menorehkan
  22. Hal-hal yang tak membuatku terpikat. Dewi waktu yang berdentang, kamu tidak akan pernah memiliki
  23. Cinta sejati dariku. Selamat tinggal… Percayalah,
  24. Aku tak akan akan kembali kepadamu lagi. Tolonglah, jangan pernah berharap
  25. Bahwa aku, akan, selalu menjadi kekasihmu, selamanya…

Tolong, jangan engkau menangis, seka dulu air matamu… Satu permintaan terakhir dariku untukmu, jika kamu ingin tahu dalamnya hatiku, tolong baca surat ini dengan membacanya urut dari angka ganjil, maka kamu akan paham is hatiku sebenarnya. Bukankah cinta untuk saling memahami? (*)