#Day10: Ketika Harus Sendiri

Saya paling benci kesendirian. Semua ini dimulai sejak ketika saya harus tinggal terpisah dari orang tua ketika masa sekolah dulu. Saya benci ketika harus makan sendiri, saya benci ketika harus jalan-jalan sendiri, bahkan saya benci ketika harus tidur sendiri di malam hari. Karena itu, ketika saya baru masuk SMA dan harus tinggal sendirian di kos, hampir setiap malam ada beberapa teman sekolah saya yang menginap untuk menemani saya ngobrol sampai saya terlelap. Beruntung waktu itu kamar kos saya cukup luas. Karena kebiasaan ini, saya punya banyak sahabat dari satu angkatan karena pada akhirnya kamar saya menjadi tempat berkumpul dan menjadi tempat mengasingkan diri bagi teman-teman saya yang sedang putus cinta, haha.

Kamar Kos Waktu SMA di Jogja

Saya menyadari, mungkin saya adalah wujud nyata manusia komunal yang tidak bisa hidup sendiri. Bahkan pada waktu itu saya bisa bertahan untuk tidak makan malam ketika tidak ada yang bisa menemani saya. Bagi saya, keberadaan orang lain menjadi sangat penting dalam menjalani aktivas sehari-hari. Hal ini terus berlangsung sampai saya lulus kuliah kecuali kalau tidur harus ditemani, haha.

Bahkan pada saat saya masih tinggal di kos, saya pun tak pernah mengunci kamar tidur karena saya selalu mempersilakan teman-teman satu kos untuk masuk ke kamar kapan saja sekedar untuk menonton TV, membuat susu karena saya selalu menyimpan susu bubuk, ataupun belajar di meja belajar saya – karena ada beberapa teman kos yang benci kalau harus belajar sendirian. Privasi merupakan nomor sekian bagi saya.

Saya pikir hal ini terjadi hanya pada saya. Lalu saya punya sahabat perempuan ketika SMA, namanya Nina, pendek cerita suatu saat kami terpisah karena dia harus kuliah di Bandung, sedangkan saya meneruskan pendidikan di Jogja. Karena dia juga tak biasa sendiri, setiap malam saya harus menemani dia makan melalui saluran telepon sampai dia selesai menyantap makan malamnya! Hal itu berlangsung beberapa minggu awal sejak dia tinggal sendirian di sana. Tetapi saya yakin, sekarang dia pasti tak pernah makan sendiri, karena sudah ditemani oleh suami dan kedua anaknya yang lucu di Eropa.

Lalu pada suatu ketika semua kebiasaan ini harus saya ubah. Satu situasi yang tidak bisa saya hindari. Pada saat itu, saya harus pindah ke kota Bangkok dan totally tinggal sendirian, sehingga saya harus melakukan sebagian besar aktivitas sendirian. Saya mencoba pertama kali nonton bioskop sendiri, makan malam sendiri, nongkrong di coffee shop sendiri, sampai jalan-jalan menjalajahi kota sendiri. Ternyata ada sensasi menyenangkan. Ketika kita bisa memutuskan apa yang ingin kita lakukan tanpa ada kompromi dengan orang lain. Ketika setahun berlalu, saya merasa keindividuan itu menjadi terpelihara lalu terkotakkan menjadi rasa nyaman. Saat itu saya memutuskan pulang.

Pada akhirnya, dalam segala hal memang harus seimbang. Terkadang dalam banyak hal kita harus kompromi atau melakukan berbagai hal bersama orang-orang yang kita percaya, tetapi ada saat-saat kita menikmati waktu sendiri.

Saat-saat sendiri bagi saya adalah waktu yang tepat untuk berpikir lebih dalam dalam menentukan keputusan yang akan diambil dalam hidup atau mengevaluasi diri atas pilihan yang saya ambil. Saat sendiri itu adalah saat saya bisa mendengarkan kata hati saya dan mengindahkan emosi sesaat lalu berpikir dengan logika. Demikian pun pada saat ini, saya menulis blog di sebuah cafe sendirian, dimana mungkin beberapa tahun yang lalu, saya sangat enggan melakukan ini. Anyway, selamat malam Minggu dan semoga weekend kamu menyenangkan! (*)

#Day9: Pengalaman Yang Mahal

Pagi hari ketika saya sedang dalam perjalanan ke kantor tak sengaja saya membuka linimasa Twiter. Ada satu twit dengan lampiran gambar yang langsung menarik perhatian mata saya. Gambar yang bertuliskan, “Selamat Selikuran Dagadu Djokdja”. Dalam bahasa Jawa, selikur itu diterjemahkan menjadi 21. Ternyata usia produsen kaos khas dari kota Jogja ini sudah menginjak usia yang tak bisa dibilang sebagai remaja lagi.

Pada usia yang sama, waktu itu saya masih bekerja paruh waktu di Dagadu Djokdja. Kepercayaan yang besar bagi saya pada masanya serta kesempatan yang mahal karena untuk menjadi Garda Depan/Gardep (begitu mereka menyebutkan para pekerja paruh waktu) di Dagadu Djokdja tidaklah mudah. Ketika itu kami harus melalui seleksi sebanyak 8 tahap dengan pendaftar hampir mencapai 700 mahasiswa/i dari Jogja. Sedangkan yang diterima ternyata hanya delapan orang dengan kontrak selama 8 bulan. Wah, tak sadar ternyata banyak angka 8 yang muncul, ya? Mungkin itu angka keberuntungan saya, haha.

Anyway, bagi saya pengalaman bekerja paruh waktu di Dagadu merupakan pengalaman yang mahal. Dalam banyak hal. Pada saat umur 20an awal, saya bukanlah pemuda yang bisa dibilang sabar. Pada saat itu saya belajar, tak semuanya bisa kita kerjakan sendiri. Ada beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama. Melatih kesabaran dalam menjalankan berbagai proses menjadi kunci.

Saya juga belajar sabar dalam melayani konsumen. Saya baru sadar, tak semua orang bisa menghargai pekerjaan saya dan teman-teman yang bekerja di berbagai gerai toko di sekitarnya. Di sana saya menemukan berbagai wujud watak manusia.

Saya semakin paham bahwa orang baik tidaklah harus ditemukan dalam wujud dengan pakaian mentereng, mereka yang bisa makan enak di gerai fast food, atau menggunakan perhiasan mahal. Orang baik bisa ditemukan di mana dan situasi apa saja. Saat itu saya menemukan deretan teman baik yang menjaga gerai ice cream Baskin & Robin, toko Gramedia, sampai konter kecil foto instan di sebelah gerai Dagadu. Mereka sering berbagi panganan kecil mereka kepada saya dan teman-teman, menyapa hangat dengan tulus setiap hari, dan tak pernah bosan berbagi rejeki atas apa yang mereka miliki. Bukankah kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan? Mereka mengajari saya hal itu.

Selain itu saya belajar integritas. Bekerja dengan teman-teman yang seluruhnya mahasiswa (dan tentu kami butuh uang) serta diberikan kebebasan mengelola barang dagangan sampai keuangan setiap harinya, tentu kami sangat bisa melakukan kecurangan kapan saja apabila mau. Tetapi saya tak pernah menemukan itu. Kami diajarkan bagaimana dunia kerja sesungguhnya. Kepercayaan itu diberikan untuk dijaga, bukan untuk disalahgunakan.

Terakhir, persahabatan. Kami saling menghargai satu dengan yang lainnya sebagai keluarga. Saya ingat karena waktu itu secara umur saya yang paling kecil, terkadang saya mendapatkan jatah waktu makan lebih awal, haha. Mereka juga selalu memastikan saya aman sampai di kos sepulang kerja, meminjamkan uang ketika saya kehabisan dana di akhir bulan – dimana saya sering terlalu gengsi untuk minta tambahan ke orang tua, dan memastikan saya baik-baik saja dalam segala hal. Ah, saya jadi berpikir bahwa saya terlalu dimanja pada masa itu, haha.

Satu hal, yang pasti saya sangat bersyukur atas pengalaman yang mahal ini. Saat ini, mungkin sudah ada ratusan alumni Garda Depan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia. Kami mendapatkan pengalaman yang tak disediakan oleh banyak perusahaan di Indonesia, tetapi Dagadu percaya, bahwa kemampuan bekerja harus dibentuk sejak dini dan kesempatan itu harus diberikan bagi mereka yang punya tekat dan memliki daya juang untuk menjalaninya. Sekali lagi, terima kasih Dagadu dan selamat beranjak dewasa! (*)