#7 cup: (bukan) Sekedar Uang Receh

Sejujurnya, daku bukan manusia yang gemar menabung. Dari jaman punya gaji sendiri selama kuliah, selalu saja gaji kerjaan part time yang di dapet langsung habis dalam sekejap. Tentu aja abisnya buat beli stocking, bulu mata palsu dan sepatu hak tinggi… HEH! Emangnya daku cowok apaan? Kekeke…. Daku masi inget, gaji pertama langsung dibelikan meja belajar yang sukses daku pake selama ngekos di Jogja. Itu pun udah dua kali patah mengerikan. Pertama, karena daku iseng pasang antena radio di langit-langit kamar dan dengan indahnya itu meja terbelah sepertiga karena jadi dasar pijakan kaki daku. Kedua, itu meja terbelah lagi karena didukin temen kos yang segede bagong. Malang nian nasib meja itu, huhu… Tapi, untung saja meja itu masih bisa dipake dan sekarang daku lungsurin ke Ageng, anak kos yang sungguh gembira bisa menikmati kamar bekas idola yaitu daku. Sang legenda kos-kosan yang lebih lama tinggal di kos daripada rumah sendiri, ck ck ck…

Anyway, walau daku borosnya ampun-ampunan, dan gak bisa ke Gramedia tanpa beli polpen baru atau buku, daku masih tetep punya celengan. Iya celengan. Itu pun gak cuma satu. Di jogja daku punya beberapa, ada celengan segede gaban bergambar Spongebob Squarepants, celengan lucu berbentuk lumba-lumba, dua gelas untuk koin-koin tak berbentuk, dan belum lagi di belakang lemari. Entah lah, daku juga bingung kenapa di belakang lemari itu banyak sekali uang receh berhamburan. Jangan-jangan tiap anak kos yang masuk kamar daku, mereka segera berdoa,

“Enyahlah roh jahat! Pergilah dari muka bumi! Amien…”

Dan mereka pun melemparkan uang receh ke belakang lemariku itu sebagai syarat dikabulkannya doa, wakaka….

Anyway, waktu daku pindahan ke Jakarta anak-anak kos juga ribut ngapain itu celengan dibawa-bawa segala.

“Mas, cowok gagah dan ganteng seperti dirimu ngapain bawa celengan Spongebob?! CIH! NAJIS!”

Hm… Okey gak sekasar itu si, tepatnya,

“Mas Dim, itu celengan ditinggal sini aja, buat anak-anak kos, buat bantu-bantu kami yang memang membutuhkan, lumayan banget kan buat maen game Counter Strike rame-rame.”

Jawaban daku,

“CIH! NAJIS!”

Jadi jelaslah, yang berbibir tajam itu adalah daku, haha.

Finally, itu celengan berhasil daku bawa sampe Jakarta. Tersusun rapi di sudut kamar. Dan sampe sekarang cuma ngejongkrok gak jelas. Paling kadang-kadang diisi dengan uang receh yang daku dapetin. Mau ditabung ke bank kok ya daku malu, bawa-bawa celengan Spongebob dan dapet tatapan tak bersahabat dari penjuru pengunjung bank. Akhirnya, ya sudah, celengan itu akan tetep di sana selamanya. Huh, sungguh malang sekali nasib mereka.

Mungkin bukan hanya celengan daku yang bernasib sama, mungkin juga celengan kamu yang ada di kamar. Sayang banget kan dianggurin padahal we can do something with those money, isn’t it? Dan tiba-tiba daku dapat kabar luar biasa dari dua sohib baikku yang cantik jelita, rekan kerja daku di kantor sebelumnya. Nah baru-baru ini mereka bikin program sosial bernama Coin A Chance!, dimana mereka akan mengumpulkan uang receh untuk membiayai sekolah adik-adik kita yang kurang mampu. Siapa aja yang boleh ikutan Dim? Semua orang dong tentunya… Tentang program dan bagaimana cara ikutan bisa di klik di sini ya.

Daku membayangkan seandainya saja program ini terus dijalankan oleh beberapa komunitas yang terus menularkan semangatnya ke lingkungan sekitar, maka akan semakin terbuka kesempatan adik-adik kita mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Jadi, mulai sekarang jangan malu sediakan celengan, toples, kaleng atau apa saja yang bisa untuk menampung uang koin di tempat kamu beraktivitas sehari-hari. Bisa di rumah, sekolah, kantor, tempat les, tempat nge gym, atau di mana saja kita bisa menaruh tempat koin untuk berbagi. Jadi mulai sekarang, simpan uang receh yang kamu punya, dan mari kita sebarkan ratusan koin kesempatan. Kalo misalnya gak punya uang receh adanya uang gede gimana Dim? Begh! Sombong amat! Sini buat daku aja uangnya, hihi.. (*)

Cerita Pendek: Another Love Story

Aku dan dia bersahabat. Melewati ribuan tenggelamnya matahari. Menjejaki ratusan ruang. Dan entah berapa puluh tetes air matanya yang telah tumpah di pundakku. Aku tetap di sini, saat ini. Memandang kedua kerling matanya yang indah.

“Aku akan pergi….”

Kutercekat dalam diam. Lidahku seperti tertusuk paku. Selidik mataku meyakinkan ucapannya yang membuat hatiku luruh. Tapi dia tetap disitu, memandangku tajam.

Hanya jalinan kalimat pendek yang keluar dari bibirku,

“Kita akan selalu bersahabat, kan? Tiada kurang, tiada lebih. Lihatlah jemari-jemariku ini, ruang di antaranya hanya akan ada untuk mengenggammu, entah di saat gundah ataupun bahagia. Bukankah itu yang engkau mau?”

Dia hanya mengangguk pelan. Tetap diam. Dalam lirih dia bertanya,

“Boleh kah aku meminta satu hal padamu?”

“Apa itu? Katakan, aku tak akan pernah mengecewakanmu.”

“Ambil ini. Di tanganku ada dua helai kertas kosong. Aku ingin kamu -dan aku- menuliskan janji persahabatan kita. Tapi berjanjilah, apa yang tertulis di dalamnya hanya akan kita baca di hari pernikahan salah satu dari kita.”

Matanya menatapku dengan penuh kesungguhan. Tapi aku ragu.

“Maksud kamu?”

“Lakukanlah. Aku ingin kamu menulisnya. I’ll keep the promise letter until mine or your wedding day…

Lalu, dia, dalam sunyi mulai menulis:

Aku tak mampu berjanji bahwa aku tak akan jatuh cinta padamu karena… Aku telah jatuh cinta padamu.

Aku tak mampu berjanji bahwa kita hanya akan bersahabat karena… Aku ingin selalu bersamamu selamanya, di setiap detik dari selamanya.

Aku tak mampu berjanji akan menikah dengan orang lain karena… Aku hanya ingin berdampingan denganmu seorang. Tak lain.

Ku menatap lagi kedua matanya, menarik nafas tipis, dan aku pun mulai menulis:

Aku berjanji tak akan pernah jatuh cinta padamu.

Aku berjanji kita akan selalu bersahabat selamanya, tidak lebih.

Dan aku berjanji, aku akan menikah dengan seseorang selain kamu sebagai pasangan jiwaku.

***

10 tahun kemudian.

Hari ini, hari pernikahannya. Mobil warna hitam elegan dipenuhi rangkaian bunga lili telah menepi di pintu masuk gedung pernikahan. Semua orang menantinya menuju pelamin, tetapi wanita cantik itu bersembunyi dalam hening, membaca satu demi satu goresan kalimat di dalam surat yang pernah aku tulis di masa lalu. Dalam senyap, dia menangis pelan.

Entah apa yang dirasakannya, wanita itu akhirnya yakin untuk berjalan menuju ruang ijab kabul. Lalu dengan anggun menghampiri calon suaminya, mengenggam erat jemarinya dan air mata mengalir halus di pipi.

Wanita itu, akhirnya akan menikahi pria impiannya. Sahabatnya. Cinta sejatinya. Yaitu aku.

“Kamu tidak apa-apa, sayang?” tanyaku.

“Aku baru saja membaca surat perjanjian yang engkau tulis…”

“Apakah… ?” Aku mulai bertanya ragu.

Wanita itu tersenyum dan membisikkan kata, “Aku juga sangat mencintaimu.”


Tepat, di bawah surat yang kutulis, tertulis sebaris pesan:

“Semua janji yang kutulis di atas adalah semua janji yang akan aku langgar. Sungguh. Aku sangat mencintaimu.”

Jakarta, 13 Desember 2008.

Meeting you was fate, becoming your friend was a choice, but falling in love with you was beyond my control.” – unknown