Liburan Seru ke Lombok & Gili Trawangan

Pantai atau gunung? Pertanyaan yang tidak sulit untuk saya jawab. Di mata saya pasti langsung terhampar pemandangan langit biru, pasir putih, dan deburan ombak. Saya merasa sungguh beruntung sempat tumbuh dan menjalani masa kecil di sebuah pulau terpencil di utara Indonesia. Setiap pulang sekolah, saya langsung bergegas menyelesaikan makan siang, bersegera mengambil sepeda kecil saya, lalu berkumpul dengan teman-teman sepermainan lalu bermain air di pinggir pantai. Setiap hari. Hari itu kami bisa bermain dengan kerang, keesokan harinya menatap takjub tanaman kantong semar yang tumbuh di karang pantai, dan kami akan selalu menemukan hal menarik untuk dibicarakan. Setiap hari adalah petualangan.

Petualangan dalam hidup sejatinya tak akan pernah berhenti. Bedanya sekarang, petualangan saya di antara gedung bertingkat, suara klakson bersahutan, dan dering telepon di meja kantor. Tetapi di sela waktu, saya selalu merindukan pantai, sekedar ingin menikmati waktu yang berjalan pelan sampai menatap matahari terbenam. Sayangnya, saya tidak punya kemewahan berlibur dengan waktu yang cukup panjang, walau saya sangat ingin bisa mengeksplorasi Indonesia lebih jauh. Salah satunya saya sangat ingin berlibur ke Pulau Gili Trawangan di Nusa Tenggara Barat. Saya sering mendengar keindahan pantainya dan kebersihan udaranya karena memang tidak ada satu pun kendaraan bermotor di daratan Pulau Gili Trawangan.

Hingga beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan dengan beberapa blogger yang juga teman baik saya – Mbak Ainun, Mas Abe, Pakde Ndorokakung, Imam, Iphan, dan Alle atas undangan dari Mbak Dewi Shintawati, Regional Public Relations Manager, Bali & Lombok, Archipelago International. Kami pun menggunakan pesawat yang sama menuju Lombok dengan excited karena ini pengalaman pertama kami semua berjalan-jalan bersama ke luar kota.

Selfie bareng Mamski, Iphan, Mbak Ai, dan Alle

Ketika tiba di Lombok dengan perut mulai bergejolak karena kami belum sempat sarapan – kami berangkat pesawat pertama jadi sangat pagi – kami langsung diajak menikmati makanan wajib di Lombok yaitu Nasi Balap Puyung Rumah Makan Cahaya. Tentu saja terasa sangat nikmat dan berasa penasaran dengan semua sajian yang ada. Saya yang pecinta makanan pedas tak melewatkan plencing kangkung dan suguhan lainnya.

Setelah kenyang, kami langsung menuju ke Desa Sukarara yang merupakan pusat kerajinan tenun tradisional atau songket. Uniknya, sebagian besar perempuan yang ada di Desa Sukarara ini bekerja sebagai penenun. Mereka belajar sejak kecil dan belum boleh menikah jika belum menguasai ilmu menenun. Pemandangan perempuan menenun pun bisa kita lihat hampir di setiap rumah yang ada. Selama di sana, mata saya tertuju pada hamparan kain tenun yang coraknya sangat berwarna-warni dan cantik! Sesungguhnya saya sedikit menyesal karena tidak sempat meminang salah satu kain yang ada. Lain kali wajib banget untuk beli!

 

Selanjutnya kami menuju Kampung Adat Sade, dimana kampung ini masih didiami oleh suku asli Sasak dengan suasana yang sangat otentik. Bagi saya yang paling menarik adalah arsitektur bangunan rumahnya masih dipertahankan dengan sangat baik. Bahkan untuk mengepel lantai yang dari tanah, mereka masih menggunakan cara lama yaitu dengan menggunakan kotoran sapi. Unik, bukan? Saya sungguh menikmati suasana rumah adat yang masih dipertahankan sehingga saya merasa menjadi bagian dari masyarakat ini dan meloncat ke puluhan tahun yang lalu…

 

Setelah kami menikmati suasana dan cerita yang menarik di Kampung Adat Sade, kami pun langsung meluncur menuju pantai, yay! Tujuan kami kali ini adalah Pantai Kuta – Tanjung Aan yang cantik dan tidak terlalu ramai – yang tentunya menjadi nilai tambah bagi saya yang tidak begitu suka suasana ramai, haha. Terletak di Selatan Pulau Lombok, pantai ini ternyata berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Bagi yang gemar foto-foto, banyak spot menarik yang bisa diabadikan di pantai ini. Sungguh beruntung saya kali ini traveling dengan teman-teman blogger yang demen foto-foto, haha. O, iya kalau kalian berencana berlibur ke Lombok, jangan lupa untuk selalu membawa topi, sun block, kacamata hitam, dan baju kaos ganti supaya kamu nyaman selama perjalanan.

 

Nah the best part dari perjalanan ini adalah kami berkesempatan untuk beristirahat di smart hotel favehotels Langko, Lombok. Hotel ini merupakan hotel satu-satunya yang berada tepat di tengah kota, bahkan seberangnya langsung ada supermarket cukup besar dan coffee shop di sebelahnya. Hal yang sangat membekas bagi saya adalah pelayanannya yang sangat prima dan ramah. Kebetulan waktu itu saya ketinggalan card reader kamera saya di salah satu restoran sebelum kami menuju hotel, teman-teman favehotels Langko pun dengan sigap menelpon restorannya dan mengantarkan saya langsung menuju restoran tersebut. Akhirnya saya berhasil menyelamatkan card reader saya (dan tidak ada satu pun karyawan yang mau dikasih tip karena membantu saya!). Selain itu, saya sangat menikmati tinggal di favehotels yang kamarnya sangat nyaman serta breakfastnya yang enak, haha. Pasti kalau saya ke Lombok lagi tak akan melewatkan untuk tinggal di hotel ini. Recommended.

 

Akhirnya saat yang dinanti-nantikan tiba! Saya dan rombongan melanjutkan perjalanan ke Gili Trawangan, YAY! Saya sungguh tak sabar untuk lekas sampai dan berkeliling pulau dengan menggunakan sepeda –just like my old days. Perjalanan dengan speed boat sendiri hanya memakan waktu sekitar 10 menit dan ketika sukses berlabuh, kami langsung menuju ASTON Sunset Beach Resort menggunakan sepeda yang telah disewa. Kami pun bereputan mengambil sepeda dan tak sabar untuk segera menggenjotnya sambil ditemani angin laut yang semilir.

Karena keterbatasan transportasi, jadi memang tak disarankan untuk bawa koper segede kulkas seperti saya, haha. Jadi buat kita yang membawa koper cukup besar atau pun tidak bisa naik sepeda sebenarnya tidak perlu khawatir, karena ada pilihan transportasi cidomo yaitu alat transportasi local yang ditarik oleh seekor kuda, beroda 2 seperti dokar, tapi rodanya menggunakan ban mobil. Penasaran pengen coba naik, kan?

 

Walau lokasi hotelnya lumayan jauh dari dermaga kedatangan karena letaknya di kawasan matahari terbenam, sedangkan dermaga kedatangan di bagian matahari terbit, tetapi perjalanan dengan sepeda selama 30 menit tak berasa karena disuguhi pemandangan yang super apik. Pasir putih, pantai yang bening, dan langit yang biru. Apalagi yang bisa saya minta?

 

Beruntungnya ketika kami sampai di hotel ASTON, kami mendapatkan informasi kalau malam itu bertepatan dengan Party by The Beach di restoran milik ASTON yang berada tepat di pinggir pantai. Berkonsep night market, sejak sore berbagai booth makanan telah dibuka dengan makanan yang sangat beragam seperti jagung bakar, nasi campur, bakso dan makanan lain yang serba enak serta murah! Apalagi disuguhi dengan band reggae yang sangat komunikatif serta DJ Echa yang didatangkan langsung dari Sky Garden Bali. Semakin malam semakin seru!

photo by @aralle

O iya, hotel ASTON Sunset Beach Resort ini sangat nyaman buat berliburan bersama teman atau pun dengan keluarga. Selain kamarnya cukup luas dengan kamar mandi yang luas juga, rasanya pengen berlama-lama di dalam kamar – di kamar mandi juga sih, haha. Selain itu walau saya tidak bisa berenang, saya menyempatkan untuk menikmati bermain air di kolam renangnya yang nyaman bareng temen-temen lainnya. O iya, walau kamar mereka cukup banyak sekitar 100 lebih kamar, tetapi suasananya sangat tenang dan nyaman. Tanpa disangka juga, ketika saya bermain di pinggir pantai, saya bertemu dengan teman baik saya ketika SMA yang bermalam bersama keluarganya di hotel yang sama. Senang!

 

Selama di sana, kami juga sempat mencoba merasakan snorkeling lho, guys! Kalau kamu tidak bisa berenang seperti saya, jangan khawatir, karena ada pendamping dan pelampung yang akan menjaga kamu. Kami pun ramai-ramai menuju Gili Meno dan melihat pemandangan bawah laut yang menakjubkan dan tenangnya air laut yang jernih. Walau saya tidak berani berenang cukup jauh, tetapi rasanya sangat puas melihat ikan-ikan cantik berenang kesana-kemari.

 

Hal lain yang wajib kamu lakukan di Gili Trawangan adalah eksplorasi! Beruntungnya saya bepergian dengan Iphan yang sama-sama hobi keliling naik sepeda dan mencari spot foto yang seru, haha. Kami pun banyak mengeksplor hotel serta beberapa toko dan kafe lalu saling foto bergantian, seru banget!

 

Bagi saya liburan kemarin itu sangat memorable dengan pelayanan hotel dari Aston Sunset Beach Resort serta favehotels Langko yang fasilitasnya cakep banget, apalagi ditemani dengan teman-teman yang menyenangkan! Jadi, kalau kamu belum pernah ke Lombok dan Gili Trawangan, menurut saya destinasi ini bisa menjadi pilihan utama jalan-jalan bersama keluarga atau sahabat-sahabat kamu, tentunya selain ke Pulau Bali atau Bangka Belitung yang semakin mainstream. Nah, kamu sendiri kapan terakhir jalan-jalan ke pantai? (*)

daku orang Indonesia

Jujur. Daku terkadang masih menutup mata dengan apa yang terjadi dengan negara kita akhir-akhir ini. Kadang terlintas di benak daku, “Buset dah, daku aja punya masalah sendiri, capek mikirin macet pulang pergi ke kantor, masa harus mikirin negara juga!”. Baca koran, liat headline bikin pengen marah, langsung tutup koran.

Walau kadang terpikir juga, kenapa bangsa yang terkenal ramah ini bisa berubah menjadi segitu kejamnya, ya? Berteriak-teriak ketika anak bangsa yang jadi TKW disiksa, tetapi bangsa sedarah di dalam negara sendiri bisa dibunuh atas nama agama? *sigh*

Tinggal di negara yang multietnis, multiagama, multipersepsi, memang tak mudah. Daku inget banget tuh jaman SMA dulu. Sekolah di salah satu sekolah swasta kondang ‘berlabel’ salah satu organisasi agama muslim, daku ‘dididik’ untuk gak boleh ngucapin selamat hari raya keagamaan ke temen-temen non muslim dan daku tercuci otak untuk menjadi tak suka dengan temen-temen keturunan China. Lebih seperti peer-presure, padahal guru-guru sebenarnya juga gak ngajarin gitu. Belum lagi tawuran antar sekolah berbeda label agama sering banget terjadi. Awalnya berfikir, memang kenapa sih dengan mereka? Toh mereka juga sama-sama makan nasi, ngomong Bahasa Indonesia, dan tinggal di Indonesia?

Tapi ya namanya faktor lingkungan dengan dicekoki dengan hal yang sama terus-menerus, tentu saja daku pun menjadi golongan yang diharapkan di wilayah sekolah daku dulu. Sampai suatu hari, daku ikut program homestay ke Australia, dan dunia seperti terbalik. Daku hanya menjadi 10% yang berwajah ‘Melayu’ diantara rombongan teman-teman Indonesia yang mengalir darah China dan non muslim!

Awalnya daku berfikir, “Mampus! Pasti gak ada yang mau temenan sama daku! Pasti daku nanti di bully!”. Ternyata, selama disana, daku bisa berteman baik bahkan menjadi teman akrab. Tidak ada prasangka, tidak ada yang peduli dengan latar belakang daku, dan tidak ada curiga di antara kami. Lah ya wong kami sama-sama ngomong Bahasa Indonesia dengan lancar gitu, lho… Apalagi kalo laper, sama-sama pusing nyari nasi daripada roti.

Sejak perjalanan itu, daku pun mempunyai pandangan yang berbeda. Daku berfikir, kita semua warga Indonesia, cuma nenek moyang kita aja yang berbeda. Ada yang Jawa, Melayu, China, India, sampai Papua. Apalagi seperti daku yang mengalami masa kecil di Aceh, Sumsel, Sumut, Jateng, Kaltim, sampai nyelesain pendidikan di Jogja. Bokap orang Padang besar di Medan, sedang almarhumah Nyokap orang Jawa. Nah, mampus gak sih kalo ditanyain daku orang mana? Adanya daku cuma bisa senyum tiga jari dan dengan bangga daku bilang, “daku orang Indonesia”. Walau kadang akhirnya yang nanya cuma tersenyum kecut dan berlalu dengan bingung, hihi…

Entah kenapa masih ada orang yang mengotak-kotakan agama, etnis, dan hal-hal yang seharusnya bukan lagi menjadi hal penting saat ini. Kita bukan hidup di jaman jajahan Belanda yang semuanya serba dibedakan. Kita hidup di jaman globalisasi, dimana di kantor pun sekarang daku bisa berbicara dengan tiga bahasa sekaligus: Indonesia, Jawa, dan Inggris. Lagi pula, ketika menginjak ke ranah agama, hal itu menjadi sangat pribadi dan sensitif. Bahkan, Presiden Obama pun belajar toleransi ketika dia sempat menjalani pendidikan dasar di Indonesia. Bagaimana ia melihat begitu banyak suku dan agama yang bisa berteman dan menjalani hari-hari dengan damainya. Bukankah akan lebih indah kalau kita bisa hidup berdampingan?

blogger
para blogger pun bisa menjadi agen perubahan

Hah! Memang ya… Merubah stereotype yang berkembang di masyarakat pasti susah. Memang banyak yang bisa jadi kambing hitam: pendidikan yang belum merata, akses informasi yang hanya untuk kalangan tertentu, dan lapangan kerja yang belum mencukupi. Tetapi tentu saja semua ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Kamu, daku, dan kami para blogger pun bisa menjadi agen perubahan. Semoga aja daku kedepannya gak cuma bisa ngomel begini, tetapi bisa melakukan sesuatu untuk bangsa ini. Amien! *efek api berkobar-kobar di kepala* (*)