Jalan setapak itu masih sama dengan pemandangan yang tak pernah berubah: gedung-gedung berwarna ungu, belasan taksi berwarna pink yang bergegas, dan wangi aneka jajanan di sepanjang trotoar. Di satu sudut coffee shop, disana aku duduk sendiri, diantara novel, segelas coffee latte dingin, dan pandangan mataku ke arah trotoar dari balik kaca yang mulai berembun.
Kukeluarkan secarik kertas dari dalam tas kulit berwarna cokelat usang, sesekali kuhela nafas dengan jeda sekian detik, dan mulai menulis…
Dear Hanny,
Hujan tak pernah turun lagi. Titik-titik air dan pekik girang anak-anak kecil yang bermain air rintik hujan, sudah tak pernah lagi aku dengar. Iya, aku merasa kehilangan. Seperti rerumputan yang mulai tampak mengering di halaman luar jendela condo. Kering. Membosankan.
Tapi entah kenapa aku selalu yakin, hujan pasti akan turun lagi: di pagi hari ketika harum roti bakar menyebar di dapurku, siang hari disaat pekerjaan masih menyita waktu, atau sore hari disaat kumerindukan semua tentang dia. Seseorang yang aku ceritakan. Satu sosok yang sama dan selalu bisa berubah wujud menjadi seperti yang kumau. Entah menjadi bintang di langit, angin lembut di balik telinga, atau bahkan menjadi temaram lampu-lampu jalan di malam hari. Ia bisa menjadi apa saja. Aku bahagia, tersenyum, lalu patah hati untuk kesekian kalinya, karena ia tak pernah nyata ada.
Kadang, aku hanya ingin hidup diantara saat-saat aku akan terlelap. Ketika mata enggan terbuka, tetapi raga masih terjaga. Disaat aku bisa mendengar suara jangkrik sampai lolongan anjing – yang terkadang membuatku bergidik, tetapi membuat aku tersadar – aku masih hidup dan masih memikirkannya.
Hujan tak pernah turun lagi, Han… Tetapi aku selalu membawa payung untuk berjaga-jaga. Toh kita tak akan pernah tahu kapan hujan akan turun. Bisa sekarang, lusa, ataupun minggu depan. Bukannya itu sama seperti cinta? Kita tak pernah bisa tahu kapan ia akan datang. Semua serba tiba-tiba, tanpa pesan. Walau aku tahu, andai kamu disini, ketika rintik hujan mulai turun, kamu akan berpura-pura meniup awan-awan hitam di atas kepalaku, lalu kita tertawa dan berlari bergandengan tangan sambil menjejakkan kaki di atas kubangan air, lalu aku akan basah dan kamu tertawa lepas.
Tapi disini tiada dia, kamu, dan hujan. Aku hanya memiliki payung yang menemani. Benda yang menjagaku dari derasnya air hujan yang terkadang ingin rasanya kuacuhkan membasuh basah wajahku, agar tak yang tahu – aku pun meneteskan air mata karena rindu. Tetapi aku enggan membasah, menggigil, tanpa ada dia yang bisa menghangatkanku. Walau ku mampu menggantinya menjadi secangkir cokelat panas digenggaman. Toh dia ada dimana saja, kapan saja, tanpa kenal waktu – dipikiran dan ujung pelupuk mataku. Apakah ini yang namanya cinta?
Iya Han, aku masih menyimpan satu foto yang aku simpan diam-diam diantara notes yang selalu kubawa. Fotonya yang tersenyum, entah karena apa. Tetapi aku tahu, dia bahagia dan aku selalu bahagia untuknya. I always know, someday I’ll look back on that picture and get butterflies because I miss it. Pernahkah kamu merasakan hal yang sama?
Ah, sebaiknya aku bergegas pulang. Entah kenapa tiba-tiba cuaca diluar bermetamorfosa menjadi lebih kelam. Aku khawatir kali ini akan benar-benar akan luruh. Bukan, bukan hatiku yang luruh. Tetapi hujan yang turun tiba-tiba, seperti cinta… dan juga rindu.
See you soon, Han!
Kuberlari kecil dan bergegas membuka pintu ke arah luar coffee shop. Alunan musik pun sayup-sayup kudengar, “should I give up or should I just keep chasing pavements?”. Dan hujan pun turun…. (*)