aku berbicara kematian

sepotong percakapan antara dua sahabat di sebuah film …

“Lu pernah gak membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti kita mati?”

“Maksud lu bro?”

“Iya, ketika kita mati, pernah gak lu ngebayangin, siapa saja yang akan datang menangisi kita, siapa saja sahabat sejati kita, dan apakah kita sebegitu berkesannya di hati mereka, sampai mereka harus datang ke pemakaman kita diantara kesibukan yang ada”

“Apaan si lu ngomong kayak gitu?! Orang normal gak pernah mikir kayak gitu?”

“Yah… gue kan cuma pengen tahu bro…”

Dan cerita pun dilanjutkan dengan adegan bunuh diri oleh tokoh yang bertanya itu, walaupun akhirnya terselematkan.

————————————————————————————————-

Aku pun terdiam. Apakah artinya aku gak normal untuk ukuran manusia? Entah kenapa pikiran seperti itu kadang terlintas dalam pikiranku. Apa yang terjadi jika suatu hari aku mati? Apakah sahabat-sahabatku akan menangisi aku? Siapa yang merasa paling kehilangan atas ketidakhadiranku lagi di bumi? Siapa saja yang akan berkenan datang? Dan pikiran nakal kadang juga muncul, apakah aku punya secret admirer?

Kadang pikiran itu terlintas tak mengenal waktu. Lagi-lagi, apakah pikiran ini normal? Dan pemikiran-pemikiran aneh itu sering sekali muncul paska gempa yang menimpa Jogja. Ramalan-ramalan dulu muncul bertebangan di atas kepalaku.

“Umurmu sepertinya tidak panjang, tapi semua tergantung yang di Atas”

Aku tercekat. Aku belum siap. Aku terlalu muda dan dosaku pun belum terhapuskan. Hingga suatu malam diantara teman, diantara kelelahan menjadi relawan, ditengah malam kami membicarakan tentang itu, tentang kematian.

Kuceritakan semua kegelisahanku. Kuceritakan semua ramalan itu. Dan entah kenapa aku merasa waktunya sudah begitu dekat. Sekali lagi aku berfikir, pikiranku memang tidak normal. Dan cerita itu pun bergulir tentang hal-hal lain, dan di luar sadar aku berbicara kepada seorang teman hati,

“Iya Vince, kalau aku boleh milih mati karena suatu musibah, mungkin aku pilih kecelakaan motor, pasti matinya cepet, gak pake acara sakit yang terlalu lama. Iya gak sih?”

————————————————————————————————-

Hingga beberapa hari kemudian, di akhir bulan Juni, rasa aneh itu muncul seperti slide yang tak pernah aku inginkan.

Waktu itu aku menghabiskan waktu dengan makan malam bersama beberapa orang sahabat. Tidak ada cerita tentang kematian itu. Dan sewaktu aku mengantarkan pulang seorang sahabat, dia berkata,

“Dim, tadi malam aku bermimpi, salah satu gigiku ada yang tanggal, apa ya artinya?”

Aku sudah cukup lama tinggal di Jogja. Sedikitnya aku tahu apa arti dari mimpi, dan arti dari mimpi itu adalah kehilangan… Bisa juga kematian. Dan langsung terlintas mungkin itu… aku.

Pikiran aneh itu muncul kembali. Ah lupakan. Aku pun meluncur ke kos salah satu sahabat yang lain. Aku menghabiskan beberapa waktu disana dengan bercerita banyak hal. Dan di tengah malam aku pun pulang…

Menyusuri jalan Kaliurang di malam hari begitu indah. Sepi. Tak seperti siang hari. Tak ada asap. Tak ada macet. Kutambah laju motorku, dan….

“BRAK!!”

Orang-orang berlarian menolong seorang anak muda yang terlentang tak berdaya dengan darah di sekujur wajah, tangan dan kakinya.

Kasihan anak muda itu, tampaknya sudah merenggang nyawa. Pasti masih anak kuliahan.”

Percakapan itu muncul antara suami istri yang kebetulan berada di dalam taksi tepat di belakang mobil pick up yang membawa tubuh anak muda itu. Mereka pun tak tahu, anak muda itu, teman sepermainan mereka.

Darah di aspal masih segar. Jalan Kaliurang kembali hening.

————————————————————————————————-

“Mas, tolong diam dulu ya, saya jahit pelipisnya,” ucap seorang suster.

Dimana aku? Apa yang terjadi? Aku semakin mual ketika mencoba untuk mengingat-ingat kejadian yang telah menimpaku.

Kucoba gerakkan tangan dan kaki. Perih. Aku belum mati. Bagaimana mungkin aku belum mati? Aku bersyukur. Maafkan aku Tuhan atas semua pemikiranku. Terima kasih atas kesempatan yang Engkau berikan.

Teman, kita diberikan hidup oleh Tuhan pasti mempunyai satu tujuan. Aku mungkin belum menyelesaikan tugasku di dunia ini. Aku belum menemukan tulang rusukku yang bisa aku berikan cinta. Dan aku tak perlu mati untuk tahu siapa yang menyimpan namaku di hati mereka. Kita hanya butuh hidup. Untuk dijalani. Tidak untuk menjadi matahari yang selalu menyinari orang-orang disekeliling kita. Tapi untuk menjadi bulan, disaat orang-orang disekelilingmu memberikan redup, aku akan memberikan sinar lirihku untukmu. Seorang diri.

Untuk sahabat-sahabatku di TERRAproJUSTITIA, terima kasih untuk waktu-waktu bodoh 2 sks di setiap malam. Aku akan merindukan saat-saat itu lagi. Tak perlu ada gempa, tentunya.

Author: Dimas Novriandi

An Indonesia-based lifestyle blogger covering city life, style, travel, gadget, book and menswear world.