Sinar matahari luruh meredup. Siang seperti hilang dibalik banjaran awan yang menghitam. Aku hanya bisa tercekat, berdiri di atas bangunan yang mulai terlihat rapuh. Menyebar pandangan ke setiap sudut, tersirat masa lalu yang tersia-sia, terhapus oleh waktu yang berpendar cepat.
Tapi, kenapa aku disini? Demi sejarah? Sejarah siapa? Aku atau bangunan ini? Pertanyaan itu menggoda menari-nari, tanpa musik atau gending memalu hati. Aku menapaki tangga satu demi satu. Di kompleks Taman Sari yang berada 500 meter sebelah selatan kompleks Keraton Yogyakarta. Taman yang indah, kurang lebih begitu artinya. Indah? Hanya sisa keindahan yang terlihat, tidak ada lagi taman air yang menawan dengan teknologi yang tak ada tandingan di jamannya. Dahulu kala area antara tenggara taman sampai perempatan kota terisi penuh dengan air, Kampung Segaran namanya. Segaran berasal dari bahasa Jawa yang berarti laut buatan. Setiap Sultan mengunjungi taman, ia berkunjung dengan mendayung perahu melewati jembatan gantung yang disebut Kreteg Gantung yang terletak didepan gerbang istana, wilayah utara atau selatan Kemandungan. Terbayang Sultan mengayuh dayung dengan gagah, menatap indahnya bangunan perpaduan Portugal, Jawa, Islam, dan Cina itu. Saat ini, reruntuhan dari gedung yang berhubungan dengan jembatan gantung masih dapat dilihat.
Taman sari dahulu bukanlah sekedar tempat bersantai bagi Sultan tetapi juga merupakan sistem pertahanan yang unik. Sementara air tidak hanya untuk memperindah taman tetapi juga sebagai senjata rahasia menghindari bahaya. Ketika musuh menyerang, Sultan dan keluarganya dapat melarikan diri melalui terowongan bawah tanah. Ketika semuanya sudah berada di tempat aman, gerbang air akan terbuka dan air akan membanjiri musuh hingga tenggelam. Ah, tapi apakah engkau tahu, hatiku pun telah runtuh dan tenggelam bersama masa lalumu?
Kamu tahu, dahulu ketika Raja menyambangi Taman Sari, beliau bisa memilih satu diantara empat puluh selirnya untuk bisa bercengkrama bersama. Begitu mudahnya kah cinta terbagi atau hanya suatu hasrat sesaat yang harus dipahami? Apakah tiada kesetiaan yang membuat bangunan ini runtuh menjadi kepingan kisah? Mungkin kolam pemandian itu yang mampu bertutur. Lihat di sebelah sana, tampak tiga kolam yang dihiasi pot-pot besar. Umbul Muncar untuk putra-putri Sultan, Umbul Binangun bagi para selir, dan Umbul Pamungkas khusus untuk permaisuri – letaknya paling selatan dan dipisahkan oleh bangunan bertingkat, tempat Sultan melempar bunga ke selir pilihannya. Air mengalir dari pancuran berbentuk kepala naga dan dari bunga teratai yang tersebar di tengah kolam. Sungguh menawan. Maukah kamu duduk bersamaku memandang air jernih bergemiricik diterpa seburat sinar sore di kolam itu? Tak ada empat puluh selir, hanya engkau seorang, dengan sepunca bunga elok kuselipkan dijarimu.
Harum wangi kenanga memang tak terindra lagi. Dulu, di taman ini, di salah satu bangunan ada bagian yang disebut Pulau Kenanga karena di halaman depan gedung itu tumbuhlah pohon Kenanga. Bunga Kenanga ini lalu menyebarkan bau yang harum ke seluruh bagian taman. Sekarang, tak perlu lagi kenanga, karena harummu menyebar di setiap hela nafasku.
Salahkah aku rindu padamu? Atau dosakah aku mencintaimu dalam sunyi? Sekali lagi aku hanya bisa membatu, kemudian kulangkahkan kaki menyusuri lorong-lorong gelap di Taman Sari, sepi dan dingin. Waktu terasa terhenti, lalu cerita ini beranjak hanya menjadi titik kosong. Atau cinta ku pun akan menjadi sejarah belaka? (*).