Tepat setahun aku jatuh cinta pada hujan. Di saat sejuknya September dengan hiasan bulan yang menggantung bulat penuh bersinar. Cahayanya tajam jatuh ke bumi dan berpendar hangat menimpa wajah gelisahku. Indah. Tapi sayang, aku hanya bisa menikmati bulan itu seorang diri. Yah, seorang diri. Hanya ditemani senyum yang perih dan hembusan kencang angin selatan. Secangkir kopi pekat itu pun sudah habis. Hanya tersisa goresan tipis bubuk kopi basah di ujung cangkir, bekas sentuhan bibir yang kelu menahan tangis. Aku terduduk di sudut. Kurengkuh kedua kakiku dengan tangan, memeluknya seakan melepas rindu yang mendalam. Dalam pedih kukirimkan salam kepada sang bulan,
“Bulan, jadikan aku satu diantara bintangmu, tak mengapa aku bersinar paling redup, setidaknya aku tak akan pernah sendiri lagi menanti cahayamu. Tolonglah aku bulan!”
Setiap malam aku dendangkan sebaris kalimat itu dengan memandang bulan lekat-lekat. Bulat. Kadang kunyanyikan dalam hati, kadang juga kutasbihkan beriringan dengan pendarnya bintang yang berkelip santun. Tapi bulan tak pernah menjawab. Ia tetap bersinar dan mengalun pelan menanti pagi. Diantara doa-doa malam yang beterbangan, dan embun-embun pagi yang segera menetas.
Waktu terus mengalir. Di malam akhir bulan September, aku masih sendiri. Aku berputar-putar menari-nari dibawah sinar bulan yang terang. Terus berputar dan berputar, seakan waktu menjadi hampa dan terdiam. Dingin pun kuhiraukan. Aku terus menari bersama kunang-kunang yang tersenyum riang. Hingga tiba-tiba tetes demi tetes air itu bermunculan tanpa duga. Aku terus berputar, lebih kencang lagi dan menari diiringi derasnya turun hujan yang melagu. Sapaan lentik airnya begitu bersahabat. Alam berbahagia, hewan air bersendawa dan aku tertawa gembira.
“Eureka! Aku menemukan kekasih jiwaku, hanya engkau hujan yang bisa membuatku tersenyum! Hanya engkau hujan!”
Hari berganti hari. Malam demi malam aku pun terus menikmati hadirnya hujan. Kupuja setiap bulir air yang mengalir deras di setiap bait tubuh. Hingga hari-hari mendekap bulan, aku mendewakan tiap tetes hujan bagaikan kata-kata sejuta kekasih yang tak pernah bosan merasuk dalam. Ah, aku jatuh cinta padamu hujan. Aku tak kan pernah bisa berpisah darimu. Tak akan. Selamanya.
Saat ini datang, tepat setahun sejak akhir September yang sejuk itu. Entah kenapa, hujan itu enggan untuk kembali hadir. Tanpa sepotong pesan. Hanya angkasa kosong tanpa kesan. Aku terpengkur seorang diri. Seperti bayi kehilangan kasih. Kutatap bulan yang setengah bersinar. Lekat. Dua tetes air mengalir dari kedua mataku.
“Dimana engkau hujan? Bosankah engkau denganku? Aku rapuh tanpa hadirmu kekasihku.”
Malam tetap pekat. Geram dengan keadaan. Tampak malas bergayut diantara awan. Bintang-bintangpun seakan meratap sedih bercampur iba ke arahku. Mereka saling berceloteh dan kemudian memohon,
“Wahai bulan, katakanlah sebenarnya kepada dia, katakanlah!”
Bulan tak tahan lagi. Sinarnya meredup layu. Angin berhenti sesaat. Awan-awan pun menghindar. Tak ingin menganggu khusyukan kesedihan bulan.
“Terpaksa aku harus bicara kepadamu sayang. Berhentilah berharap kepada hujan. Kalian berbeda. Dia tak akan pernah mencintaimu kembali. Jangan sia-siakan hidupmu demi angkuhnya hujan.”
Aku tercekat. Lidah ini tiba-tiba kaku dan dingin. Aku berteriak!
“Kejamnya engkau hujan! Kenapa tak kau sampaikan sejak dulu jika kau tak akan pernah mencintaiku! Teganya engkau!”
Aku dikhianati. Bergegas kuberlari menyusuri bukit-bukit pasir putih itu. Tanpa arah kuterus berlari. Semakin kencang kulangkahkan kaki dan aku akhirnya terjerembab jatuh tersungkur di ujung bukit. Betapa perihnya sekujur tubuh. Tapi aku lebih tak terkesan dengan perihnya hati ini. Dalam hening, tanpa sadar kuraih cepat sepotong bambu kecil tajam dengan tangan kiri. Kuangkat tinggi-tinggi diantara jemari. Kutantang langit,
“Lihat ini hujan! Aku tak peduli dengan hadirmu! Aku benci engkau hujan!”
Kuhujamkan bambu itu ke kedua mataku. Maha sakit, tapi aku membatu diam. Lalu dengan keras kuhunuskan bambu itu menuju hati. Darah pun mengalir. Deras. Dalam hembusan lirih kuberbisik,
“Lebih baik aku buta mata, agar aku tak pernah lagi melihat engkau memberikan bulir airmu untuk sosok yang lebih engkau cintai, dan aku pun butakan hatiku, agar tak perlu lagi kurasakan cinta hadir di hati ini. Selamat tinggal hujan… Aku ternyata tak bisa menghentikan cintaku untukmu. Selamanya.”
Hujan pun lalu turun setetes demi setetes. Warna airnya pucat, tak lagi bening, tapi bewarna kemerahan, selegam darah yang telah terlanjur tertumpah demi kata cinta.
27 September 2006.
Untuk ‘hujan’ ku, pernahkah kau merindukanku?