#Day12: Alasan Untuk Bahagia

Tiba-tiba saya teringat masa-masa saya menjalani OSPEK sewaktu menjadi mahasiswa baru UGM dulu. Seperti biasa kami harus mengikuti orientasi mahasiswa tingkat universitas sebelum mengikuti orientasi tingkat fakultas. Salah satu tujuannya adalah agar mahasiswa baru bisa saling mengenal antar fakultas, sehingga dibentuklah kelompok-kelompok yang terdiri dari perwakilan berbagai fakultas dan jurusan.

Pada masa itu saya bisa dibilang mahasiswa yang (sebenarnya) berkecukupan. Selain saya sudah menjalani kuliah setahun sebelumnya di kampus swasta dengan biaya dari orang tua sepenuhnya, saya juga sudah bekerja paruh waktu di salah satu pusat kaos oleh-oleh dan terkadang juga ditambah menjadi Sales Promotion Boy berbagai produk. Artinya secara materi, saya memilikinya lebih dari apa yang saya minta.

Tetapi terkadang masih timbul rasa iri pada diri saya. Kenapa sih teman-teman sekolah saya bisa kuliah di kampus menterang di dalam atau luar negeri? Kenapa saya hanya pakai kendaraan bermotor yang biasa saja dibandingkan beberapa teman yang lain? Dan masih banyak pertanyaan lainnya di kepala saya.

Hingga suatu hari, sepulang dari OSPEK, saya mengobrol panjang dengan salah satu mahasiswi dari kota kecil daerah Lampung. Sosoknya kecil, sederhana, senyumnya manis, dan anaknya sangat cerdas – karena ia bisa masuk UGM tanpa tes pada waktu itu. Sepanjang jalan boulevard kampus dengan seragam hitam putih dan senja yang mulai turun, kami bercerita sambil tertawa tentang banyak hal sampai pada titik entah mengapa kami berdiskusi mengenai biaya hidup di kota Jogja. Kemudian ia mengatakan, “Iya, Mas Dimas. Jogja ini kota yang murah ya… Aku dikirimin orang tua 75.000 per bulan dan rasanya cukup sekali. Untung saya tinggal sama paman, jadi malah bisa nabung sedikit”.

Dalam hati saya seperti tertampar, “Dia bisa bahagia dan bersyukur dengan duit bulanan yang tak banyak. Sedangkan aku? Duit sebanyak itu mungkin bisa terbuang begitu saja untuk main di warnet dalam seminggu dan hal-hal tak penting lainnya. Dan itu pun masih berasa kurang”.

Saya terdiam. Rasanya saya sangat tidak bersyukur atas apa yang saya miliki. Tuhan menegur dengan cara lain.

Esok harinya, saya pun mengantarkan pulang teman pria di ospek. Saya mampir ke kosnya dengan fasilitas yang tidak lebih baik dari apa yang saya tempati. Dia pun menceritakan betapa nyaman bisa tinggal di sana dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Lalu kami melanjutkan bercerita sambil menyantap makan malam di atas satu piring plastik yang dibawanya dari kota kecil di Jawa Tengah. Ia bersyukur atas apa yang ia miliki pada saat itu, karena untuk kuliah banyak pengorbanan yang harus dilakukan olehnya dan keluarganya.

Kedua teman ini memiliki satu kesamaan. Mereka datang ke Jogja untuk berjuang dan menunjukkan bahwa mereka bisa menghadapi segala rintangan. Mereka mungkin tidak seberuntung kita dalam hal materi, tetapi mereka kaya akan rasa bahagia.

Satu hal yang saya pelajari,

“I truly respect the people who stay strong even when they have every right to break down”.

Jadi, ketika saya merasa jatuh atau mendapatkan jauh dari apa yang saya harapkan, saya akan melihat ke sekitar, ternyata banyak hal yang membuat kita merasa kaya akan rasa bahagia. Bahagia bisa menyantap bubur kacang hijau favorit setiap pagi, bahagia dikelilingi teman-teman kantor yang luar biasa, bahagia melihat keluarga yang sehat, dan bahagia karena kita memang akan selalu punya alasan untuk bahagia, baik dalam keadaan sulit atau pun senang. Jadi, apa alasan kebahagiaan kamu hari ini? (*)

#Day9: Pengalaman Yang Mahal

Pagi hari ketika saya sedang dalam perjalanan ke kantor tak sengaja saya membuka linimasa Twiter. Ada satu twit dengan lampiran gambar yang langsung menarik perhatian mata saya. Gambar yang bertuliskan, “Selamat Selikuran Dagadu Djokdja”. Dalam bahasa Jawa, selikur itu diterjemahkan menjadi 21. Ternyata usia produsen kaos khas dari kota Jogja ini sudah menginjak usia yang tak bisa dibilang sebagai remaja lagi.

Pada usia yang sama, waktu itu saya masih bekerja paruh waktu di Dagadu Djokdja. Kepercayaan yang besar bagi saya pada masanya serta kesempatan yang mahal karena untuk menjadi Garda Depan/Gardep (begitu mereka menyebutkan para pekerja paruh waktu) di Dagadu Djokdja tidaklah mudah. Ketika itu kami harus melalui seleksi sebanyak 8 tahap dengan pendaftar hampir mencapai 700 mahasiswa/i dari Jogja. Sedangkan yang diterima ternyata hanya delapan orang dengan kontrak selama 8 bulan. Wah, tak sadar ternyata banyak angka 8 yang muncul, ya? Mungkin itu angka keberuntungan saya, haha.

Anyway, bagi saya pengalaman bekerja paruh waktu di Dagadu merupakan pengalaman yang mahal. Dalam banyak hal. Pada saat umur 20an awal, saya bukanlah pemuda yang bisa dibilang sabar. Pada saat itu saya belajar, tak semuanya bisa kita kerjakan sendiri. Ada beberapa hal harus dikerjakan bersama-sama. Melatih kesabaran dalam menjalankan berbagai proses menjadi kunci.

Saya juga belajar sabar dalam melayani konsumen. Saya baru sadar, tak semua orang bisa menghargai pekerjaan saya dan teman-teman yang bekerja di berbagai gerai toko di sekitarnya. Di sana saya menemukan berbagai wujud watak manusia.

Saya semakin paham bahwa orang baik tidaklah harus ditemukan dalam wujud dengan pakaian mentereng, mereka yang bisa makan enak di gerai fast food, atau menggunakan perhiasan mahal. Orang baik bisa ditemukan di mana dan situasi apa saja. Saat itu saya menemukan deretan teman baik yang menjaga gerai ice cream Baskin & Robin, toko Gramedia, sampai konter kecil foto instan di sebelah gerai Dagadu. Mereka sering berbagi panganan kecil mereka kepada saya dan teman-teman, menyapa hangat dengan tulus setiap hari, dan tak pernah bosan berbagi rejeki atas apa yang mereka miliki. Bukankah kebahagiaan itu kita sendiri yang menentukan? Mereka mengajari saya hal itu.

Selain itu saya belajar integritas. Bekerja dengan teman-teman yang seluruhnya mahasiswa (dan tentu kami butuh uang) serta diberikan kebebasan mengelola barang dagangan sampai keuangan setiap harinya, tentu kami sangat bisa melakukan kecurangan kapan saja apabila mau. Tetapi saya tak pernah menemukan itu. Kami diajarkan bagaimana dunia kerja sesungguhnya. Kepercayaan itu diberikan untuk dijaga, bukan untuk disalahgunakan.

Terakhir, persahabatan. Kami saling menghargai satu dengan yang lainnya sebagai keluarga. Saya ingat karena waktu itu secara umur saya yang paling kecil, terkadang saya mendapatkan jatah waktu makan lebih awal, haha. Mereka juga selalu memastikan saya aman sampai di kos sepulang kerja, meminjamkan uang ketika saya kehabisan dana di akhir bulan – dimana saya sering terlalu gengsi untuk minta tambahan ke orang tua, dan memastikan saya baik-baik saja dalam segala hal. Ah, saya jadi berpikir bahwa saya terlalu dimanja pada masa itu, haha.

Satu hal, yang pasti saya sangat bersyukur atas pengalaman yang mahal ini. Saat ini, mungkin sudah ada ratusan alumni Garda Depan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia bahkan dunia. Kami mendapatkan pengalaman yang tak disediakan oleh banyak perusahaan di Indonesia, tetapi Dagadu percaya, bahwa kemampuan bekerja harus dibentuk sejak dini dan kesempatan itu harus diberikan bagi mereka yang punya tekat dan memliki daya juang untuk menjalaninya. Sekali lagi, terima kasih Dagadu dan selamat beranjak dewasa! (*)