Cewek manis itu berjalan dengan langkah cepat. Fashionable. Indeed. Stocking hitam pekat, sepatu flat kuning, gaun terusin selutut yang senada dengan warna sepatu, plus tak lupa kacamata model jadul duduk manis di hidungnya. Di sebelahnya pun tampak sosok yang tak kalah menarik perhatian mataku. Cewek yang daku tebak masih berusia belia dengan rok hitam sepaha, masih dengan stocking hitam, rompi abu-abu dengan sepatu dengan warna tak beda. Dia tampak terburu-buru sambil membawa satu baju tergantung. Tak murah. Mungkin harga baju itu pun berkali-kali lipat dari gajinya sebulan.
Di ruanganku. Majalah-majalah kondang dari berbagai negara tertumpuk di samping kubikel. Tampak sosok-sosok lain sedang sibuk menulis, konsentrasi, walau sesekali terdengar sahutan gelak tawa membahana. Semangat itu. Cerita-cerita itu. Daku bagian dari mereka. Being journalist. Wartawan. Di satu majalah lifestlye pria ternama, sebuah franchise dari manca negara. Cool job!
Dulu daku membayangkan kerja di majalah yang bersentuhan langsung dengan fashion, pasti akan bertemu cewek-cewek cantik ataupun cowok-cowok yang semuanya sinis bin menyebalkan ala Catherine Wilson. Kalo kebanyakan baca novel dan film menang kadang begitu cepat meracuni otak yang kapasitasnya cukup merana ini, hihi. Tapi pada kenyataannya, daku bertemu dengan temen-temen seru dan hebat di sana. Satu hal yang mungkin daku belum pupuk dengan baik adalah passion. Pekerjaan menjadi wartawan itu bukan sekedar menulis, curhat dengan seenak jidat dan tiba-tiba muncul di majalah. Kalo gitu mah bikin aja majalah sendiri, hihi.
Beberapa hari kerja daku udah bisa mulai liputan ke sana dan ke mari. Salah satu rubrik di majalah daku itu adalah kumpulan foto-foto socialita berpesta atau bertemu lalu kemudian di foto, dan munculah kemudian foto-foto mereka beserta nama-namanya. Tapi jangan bayangin itu pekerjaan mudah, ternyata tidak kawan. SUSAH.
Suatu hari Mbak Noni, senior editor yang baik hati dan cantik mengajak daku ke salah satu gathering perbankan asing. Di sana bakal ada dinner dengan berbagai petinggi perbankan di Indonesia.
“Dimas, nanti kamu foto-foto semua tamu yang oke dan jangan lupa tanya namanya ya.”
“Sip, oke Mbak Non.”
“Jangan lupa, foto yang itu.. Itu… Nah yang itu juga… Terus yang itu… Kurang lebih bisa dapet 20 foto.”
*glek*
Sumpah, daku gak ada yang kenal satu pun. Semua orang bank itu tampak sama dengan jas atau blazernya, seperti pion-pion catur berwarna hitam. Sebagian pun tamu orang asing. Bagaimana daku bisa mendapatkan namanya?
Daku ambil satu-satunya notes yang daku punya di dalam tas dan itu… NOTES BESAR. Duh booo, daku bukan mau try out SPMBkan? Mondar-mandir pake tas ransel dan notes besar, huhu… Yang bisa aku lakukan adalah satu tangan memegang kamera dan satu tangan lainnya memegang bibir dengan satu telunjuk. Lalu poto deh dari tampak samping. Cekrek! Jadi deh poto ala ABG di Friendster dan Facebook, hihi. Aslinya sih daku kerepotan menfoto dan lalu bertanya satu persatu nama mereka. Keringet dingin bercucuran di antara orang-orang berbaju jas. Notes itu pun daku pake buat mencatat nama mereka satu-persatu. Bener-bener pengalaman yang ‘berbeda’.
Belum lagi pas di undang press conference. Dulu jaman jadi PR consultant, biasanya daku yang mengundang wartawan buat dateng ke acara presscon, tapi kali ini daku yang di undang, hihi. Dulu bener-bener daku ngerasain betapa susahnya pekerjaan PR untuk mengundang media datang. Ternyata memang seru juga sekarang bisa ngerasain hal sebaliknya, akhirnya daku bisa jual mahal ke PR, kapan lagi kan? Hihi…
“Maaf Mbak Miyabi, saya ndak bisa dateng ke acara press con-nya karena lagi ada kerjaan.”
“Yah… Kok gak bisa sih Mas, kenapa?” *nada menyesal yang rada dibuat-buat*
“Iya Mbak Miyabi, maaf ya. Kami boleh kan minta press release-nya aja?”
“Boleh dong Mas, duh dari media Mas pasti gak mau ya dateng ke acara kami, kami maklum kok, hehe…” *tertawa aneh*
“Gak gitu kali Mbak, memang bener-bener gak bisa, hehe… Makasih ya Mbak Miyabi sebelumnya, releasenya tolong dikirim ke email bla bla ya” *nada flat*
“Lain kali dateng lho Mas Dimas, hahaha…” *tertawa mengerikan*
“….. “
Dalam hati daku berkata, “untung aja sepanjang daku jadi PR, satu kantor gak pernah bertindak aneh seperti manusia kekurangan obat depresi kayak gitu.”
Hari demi hari daku lalui dengan liputan ke sana ke mari. Bisa makan enak plus kenalan sama wartawan media lain. Entah kenapa ya, ketika dulu daku di posisi PR rasanya susah sekali memulai pembicaraan tapi kalo di posisi sesama wartawan semua terasa lebih mudah. Semudah Sheren Sungkar berakting lebay di sinetron. Segampang Dewi Persik bikin sensasi. Juga semudah Andi Soraya masuk infotainment.
Seminggu lebih daku menjalani profesi seru itu, tiba-tiba daku harus menentukan pilihan yang berat. Dilema. Terjepit di antara dua pilihan. Do you want to follow your dream or just be realistic about your future? Intinya, daku diterima di perusahaan lain, tepat sejam daku tandatangan kontrak di majalah itu. Sebuah perusahaan yang lebih menjanjikan dari sisi penghasilan dan karir. Daku bingung mana yang harus dipilih. Mau pake jilbab yang pink atau yang ungu *lho?*. Akhirnya, aku putuskan mencopot ID Pers yang baru kupakai beberapa hari itu. ID yang membuatku tersenyum berhari-hari. Sebuah pekerjaan yang daku cita-citakan sejak di bangku SMP ketika masih rajin menulis di sebuah surat kabar lokal.
Teringat di postingan awal tahunku, resolusiku hanya satu. Mendapatkan pekerjaan yang akan daku jadikan karir untuk kedepannya. Setidaknya di pekerjaan yang terbaru ini daku masih bertemu dengan temen-temen media, daku masih menulis, dan hidup lebih teratur. Tentu Tuhan tahu yang terbaik dengan rencana-rencana-Nya. Mungkin memang jalanku bukanlah menjadi wartawan. Setidaknya daku belajar satu hal, bekerja dengan passion akan membuat semuanya lebih mudah dan tak ada kata menyerah.
Tiba-tiba lamunanku terhenti. Seorang cewek manis dengan rambut tergerai panjang, bersandang baju gelap sampai paha dengan tali pinggang berwarna kulit, tak lupa sandal gladiator berwarna senada berjalan melewatiku. Harum. Binar matanya sama dengan teman-teman yang menyusul di belakangnya. Tawa mereka. Cerita mereka. Semangat mereka menulis berita dan bercerita. Daku akan merindukan semuanya. There are no devils wears Prada. (*)