Jujur. Daku terkadang masih menutup mata dengan apa yang terjadi dengan negara kita akhir-akhir ini. Kadang terlintas di benak daku, “Buset dah, daku aja punya masalah sendiri, capek mikirin macet pulang pergi ke kantor, masa harus mikirin negara juga!”. Baca koran, liat headline bikin pengen marah, langsung tutup koran.
Walau kadang terpikir juga, kenapa bangsa yang terkenal ramah ini bisa berubah menjadi segitu kejamnya, ya? Berteriak-teriak ketika anak bangsa yang jadi TKW disiksa, tetapi bangsa sedarah di dalam negara sendiri bisa dibunuh atas nama agama? *sigh*
Tinggal di negara yang multietnis, multiagama, multipersepsi, memang tak mudah. Daku inget banget tuh jaman SMA dulu. Sekolah di salah satu sekolah swasta kondang ‘berlabel’ salah satu organisasi agama muslim, daku ‘dididik’ untuk gak boleh ngucapin selamat hari raya keagamaan ke temen-temen non muslim dan daku tercuci otak untuk menjadi tak suka dengan temen-temen keturunan China. Lebih seperti peer-presure, padahal guru-guru sebenarnya juga gak ngajarin gitu. Belum lagi tawuran antar sekolah berbeda label agama sering banget terjadi. Awalnya berfikir, memang kenapa sih dengan mereka? Toh mereka juga sama-sama makan nasi, ngomong Bahasa Indonesia, dan tinggal di Indonesia?
Tapi ya namanya faktor lingkungan dengan dicekoki dengan hal yang sama terus-menerus, tentu saja daku pun menjadi golongan yang diharapkan di wilayah sekolah daku dulu. Sampai suatu hari, daku ikut program homestay ke Australia, dan dunia seperti terbalik. Daku hanya menjadi 10% yang berwajah ‘Melayu’ diantara rombongan teman-teman Indonesia yang mengalir darah China dan non muslim!
Awalnya daku berfikir, “Mampus! Pasti gak ada yang mau temenan sama daku! Pasti daku nanti di bully!”. Ternyata, selama disana, daku bisa berteman baik bahkan menjadi teman akrab. Tidak ada prasangka, tidak ada yang peduli dengan latar belakang daku, dan tidak ada curiga di antara kami. Lah ya wong kami sama-sama ngomong Bahasa Indonesia dengan lancar gitu, lho… Apalagi kalo laper, sama-sama pusing nyari nasi daripada roti.
Sejak perjalanan itu, daku pun mempunyai pandangan yang berbeda. Daku berfikir, kita semua warga Indonesia, cuma nenek moyang kita aja yang berbeda. Ada yang Jawa, Melayu, China, India, sampai Papua. Apalagi seperti daku yang mengalami masa kecil di Aceh, Sumsel, Sumut, Jateng, Kaltim, sampai nyelesain pendidikan di Jogja. Bokap orang Padang besar di Medan, sedang almarhumah Nyokap orang Jawa. Nah, mampus gak sih kalo ditanyain daku orang mana? Adanya daku cuma bisa senyum tiga jari dan dengan bangga daku bilang, “daku orang Indonesia”. Walau kadang akhirnya yang nanya cuma tersenyum kecut dan berlalu dengan bingung, hihi…
Entah kenapa masih ada orang yang mengotak-kotakan agama, etnis, dan hal-hal yang seharusnya bukan lagi menjadi hal penting saat ini. Kita bukan hidup di jaman jajahan Belanda yang semuanya serba dibedakan. Kita hidup di jaman globalisasi, dimana di kantor pun sekarang daku bisa berbicara dengan tiga bahasa sekaligus: Indonesia, Jawa, dan Inggris. Lagi pula, ketika menginjak ke ranah agama, hal itu menjadi sangat pribadi dan sensitif. Bahkan, Presiden Obama pun belajar toleransi ketika dia sempat menjalani pendidikan dasar di Indonesia. Bagaimana ia melihat begitu banyak suku dan agama yang bisa berteman dan menjalani hari-hari dengan damainya. Bukankah akan lebih indah kalau kita bisa hidup berdampingan?
Hah! Memang ya… Merubah stereotype yang berkembang di masyarakat pasti susah. Memang banyak yang bisa jadi kambing hitam: pendidikan yang belum merata, akses informasi yang hanya untuk kalangan tertentu, dan lapangan kerja yang belum mencukupi. Tetapi tentu saja semua ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Kamu, daku, dan kami para blogger pun bisa menjadi agen perubahan. Semoga aja daku kedepannya gak cuma bisa ngomel begini, tetapi bisa melakukan sesuatu untuk bangsa ini. Amien! *efek api berkobar-kobar di kepala* (*)