–
Asap tipis berlomba-lomba membuntang dari mulutnya, tangannya pun sesekali bergerak cepat membuka halaman demi halaman buku. Ritual panjang yang kadang dilakukan kala hari mulai redup atau pun sesekali waktu pendek di pagi hari. Mata kecilku menatap tajam. Melihat asap bertebangan dan kemudian menyatu dengan udara yang aku hirup. Bara api itu seakan-akan menyihirku untuk menatap proses subtitusi sebatang rokok yang pelan-pelan berubah menjadi abu yang berterbangan, melayang, lalu menyatu bersama debu.
Di sisi waktu, entah berapa kali masa kecilku dihabiskan hanya untuk beristirahat di kamar, dan dari jendela aku melihat teman-teman kecilku berlarian di halaman rumah atau bermain perang-perangan di antara pepohonan cemara. Penyakit asma membuatku tak sanggup untuk tertawa gembira menggiring bola di kala senggang waktu. Asma, membuatku tak sanggup untuk menghisap paparan asap rokok, tentunya asap yang keluar dari mulut ayahku. Sejak saat itu, aku enggan menatap asap rokok, lalu menjadi musuh nomer duaku setelah penjahat-penjahat yang muncul di serial Ultra Man. Dan mulai saat itu juga, ayahku tak pernah lagi merokok di depanku.
***
”Jangan merokok di kamar Dimas woi! Dia kan alergi asap rokok,” salah satu sohibku di SMU berbicara dengan sedikit lantang. Entah kenapa, rasa-rasanya satu sekolah juga tahu kalo daku paling males ngeliat asap rokok. Walau satu geng SMU yang lebih dari 20 orang itu rata-rata cowok perokok semua, tapi mereka juga selalu mejauh dariku kalo udah mulai menghisap bara rokok. Mereka juga selalu siap ngingetin orang-orang yang merokok di dekatku untuk menjauh.
Sebenarnya gak segitunya juga sih alerginya. Bukan berarti daku kalo kena asap rokok, si asma langsung kambuh, nafas megap-megap kemudian terkapar dengan indahnya di lantai. Sama seperti ikan mas koki yang dikeluarkan paksa dari akuarium mungil, hihi… Adanya daku akan melewati beberapa fase terlebih dahulu, dimulai dari bersin – pilek – batuk-batuk – baru kemudian asma kambuh. Itu pun butuh waktu yang cukup lama.
Tapi bukan berarti daku gak pernah nyoba-nyoba ngerokok. Jadi inget jaman daku masih siaran di salah satu radio di Jogja, kami satu angkatan penyiar training beramai-ramai ’belajar’ ngerokok. Alasan merokok? Simpel sih, soalnya denger-denger kalo rajin merokok suaranya bakal berat. Kenyataannya setelah sebulan lebih ngerokok, suara daku tetep aja gak jadi seberat suara Beby Romeo, siyal! Hehehe….
Begitu pun temen-temen kosku, kayaknya hampir semua demen ngerokok. Bahkan ada yang mulai dari bangun tidur sampe mau tidur kerjaan ngerokok mulu. Masuk kuliah kagak, ngerokok jalan mulu. Jangan-jangan dia sejak lahir rokok itu udah nempel di tangannya ya? Hihi… Kata temenku yang satu ini,
”Mending gue gak makan Dim, yang penting bisa ngerokok, hehehe… Ngerokok bisa bikin kenyang juga.”
Kalo gitu kenapa gak sekalian ada rokok rasa strawberry atau tiramisu ya? Atau seperti varian rasa Indomie, rokok rasa soto Medan atau coto Makassar?
***
Tapi sebegitu daku menghindari akan asap rokok, dan begitu sebelnya daku sama orang ngerokok sembarangan, akhirnya rejekiku pun tak jauh-jauh juga dari dunia rokok. Daku pun sekarang bekerja di perusahaan rokok paling moncer saat ini di Indonesia. Menariknya, daku disini juga bertugas sebagai salah satu garda terdepan yang bersinggungan langsung dengan media mengenai industri rokok ini. Nah lho…
Ironis? Gak juga. Karena dengan daku mencemplungkan diri ke industri ini, setidaknya daku menjadi tahu akan banyak hal. Terutama bahwa perusahaan daku bekerja sekarang tidak pernah mengingkari bahwa merokok tidak baik bagi kesehatan dan memiliki komitmen hanya menjual rokok produksinya kepada perokok dewasa yang memilih untuk merokok.
Lalu apakah semua karyawan yang bekerja di kantorku ngerokok? Itu sama saja seperti mitos yang bilang kalo cewek duduk di pintu sore-sore bakal berat jodoh, hihi… Atau paling daku balik bertanya sambil bercanda,
”Emangnya kalo orang jualan BH juga harus pake BH ya?”
Kenyataannya di departemenku sendiri saja hampir semua bukan perokok. Hei, merokok itu pilihan, bukan keharusan.
Sesungguhnya yang membuat daku bertanya-tanya, mengapa di negara ini tidak ada payung hukum yang memberikan larangan merokok bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun ya? Liat aja, begitu gampangnya adik-adik kita di bangku SD, SMP dan tentunya anak SMU membeli rokok di kios-kios, bahkan kadang-kadang ayah atau kakaknya sendiri yang nyuruh anaknya atau adeknya untuk beli rokok, nah lho! *berasa kembali menjadi mahasiswa hukum*
Bahkan kalo dibilang iklan rokok penyebab anak-anak menjadi ingin merokok, sepertinya perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Lah bayangin aja iklan rokok di Indonesia itu malah seperti hiburan, karena lucu dan dan butuh kecerdasan untuk memahami pesan yang tersirat, bisa tentang politik, sosial, ataupun daily life. Tidak ada unsur sama sekali yang menunjukkan batang rokok atau pun seseorang dengan asiknya sedang merokok. Apalagi iklan ini muncul di atas pukul 21.30 setiap harinya, bukan? Ya tapi ini menurut daku lho, setiap orang berhak untuk berpendapat.
Sebenarnya nih, menurut daku malah tampaknya lebih berbahaya sinetron Indonesia yang sering muncul dengan tokoh bermata melotot ketika marah, dan tangisan lebay dari tokoh-tokohnya yang mulai dari pembantu, anak sampe majikan, semua tampak muda dan cantik. Contoh yang menyesatkan. Kalo daku jadi anak muda jaman sekarang yang hobi nonton sinetron, pasti tiap dimarahin bokap, daku akan menangis heboh plus teriak-teriak lebay, bikin surat minggat dari rumah, dan berjalan pelan dipinggir jalan sambil berharap bakal ditabrak mobil sama orang kaya, kemudian ternyata yang nabrak itu cewek cantik yang akhirnya jatuh cinta ma daku, kekeke. Atau… Daku akan menyanyi sambil berderai air mata ala Agnes Monica,
”Kau dengan dirimu sajaaaaa…. Kau dengan duniamu saja…. Teruskanlah! Teruskanlah! Kau begituuuu.”
Eh, kembali ke masalah merokok lagi ya, hihi… Jadi sebenarnya nih, mengenai bagaimana konsep orang merokok pertama kali taunya ya… dari bokap. Bagaimana cara memegang, cara menghisap dan seterusnya. Begitu pun temen-temen di sekitar, biasanya mereka memulai merokok karena faktor lingkungan, bukan begitu? Memang, begitu banyak alasan kenapa orang merokok. Sama seperti alasan orang demen ngopi ataupun rela mengantri buat beli yoghurt Sour Sally yang kecil-asam-mahal-iyuh-gak-banget-itu *perumpamaan yang aneh, hihi*.
Jadi teman, ketika merokok menjadi pilihanmu, bertanggungjawablah dengan pilihan itu. Kata temen baik saya, jadilah perokok yang budiman. Tidak merokok di tempat umum, tidak membuang puntung rokok sembarangan serta memahami konsekuensi merokok bagi tubuhnya. Sama seperti kita, yang rajin makan makanan fast food, sama-sama berbahaya bagi kesehatan bukan? Apalagi kalo kebanyakan, selain bikin kolestrol bertambah, kantong pun semakin menipis, hihi… Jadi teman, apakah kamu memilih menjadi perokok budiman atau memilih untuk tidak merokok? (*)
Note: tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili perusahaan atau pun lembaga tertentu, catet! Hehe….